Tujuh Belas


Teriakan dan sahutan para santri putra riuh bergemuruh ketika seorang santri putri tampil di panggung seni, tak kalah dengan ramainya pasar atau mall. Tangan melambai-lambai rapi mengiringi nasyid khas santri yang sedang dinyanyikan. Dengan suaranya yang melengking penuh vibra, Atiyah tampil full power. Ia kerahkan bakatnya untuk memenangkan kontes seni antar angkatan.
            “Aku ingin mencintaimu, setulusnya.
Sebenar-benar aku cinta.
Dalam do’a dalam ingatan. Dalam setiap langkahku.”
            Lirik demi lirik lagu ia nyanyikan penuh penghayatan bagai penyanyi diva nasional tersohor, hanya saja busana dan lagu yang dibawakan lebih sopan. Penguasaan panggungnya sangat menarik perhatian juri. Santri putra bersiul-siul penuh kagum dan ikut bernyanyi.
Tepuk tangan ramai mengakhirinya.
“Itulah tadi penampilan pamungkas dari angkatan 38. Mana tepuk tangannya? Akhirnya satu demi satu peserta sudah tampil. Tinggal kita tunggu keputusan dewan  juri.”
Raihan kembali ambil posisi sebagai MC pada acara malam hari itu. Ia menerima kertas nilai akhir dari salah seorang rekannya. Selang beberapa menit, diumumkanlah kejuaraannya.
“Mana pendukungnya angkatan 37?... 38?... 39?... Kita akan umumkan siapakah yang berhak tampil dalam acara reuni akbar pondok pesanten. Langsung saja. Pemenangnya adalah.....”
Aula hening. Panitia memutarkan lighting panggung.
“Atiyah dari angkatan... 17”
Suasana menggelegar kembali menjemput kemenangan Atiyah. Dengan gaun khas santri ia berjalan sangat anggun menuju panggung. Kerudung paris hitamnya yang terkibas-kibas tertiup kipas angin menambah keelokannya pada malam itu. Layaknya syuting film wanita hijab ataupun audisi model muslimah. Santri putra meliriknya di balik papan pembatas santri putra dengan santri putri. Terkecuali Raihan yang tetap acuh menolehkan pandangan menyusuri sudut ruangan walaupun ia berdiri di depan panggung.
Sarungnya diangkat sedikit ketika menaiki satu per satu dari tiga anak tangga panggung. Penonton tetap dalam riuhnya dan Raihan tetap menjaga pandangannya.      “Kami persilakan kepada dewan juri untuk memberikan hadiahnya.”
Raihan membawa piala di atas wadah yang ia sodorkan kepada Ustadz Rahman penuh takdzim untuk beliau berikan kepada pemenang. Walaupun sedekat satu langkah pun, Raihan tetap menjaga pandangannya. Hafalan 10 Juz Al-qur’an yang ia miliki tak ingin luntur hanya dengan hal yang sepele namun yang tak sesuai syari’at islam. Ia rela untuk tak sama dengan remaja kebanyakan di luar sana yang dalam hal ini sangat lumrah bahkan lebih dari sekedar pandangan.
Di usianya yang menginjak sweet seventeen, ia tetap teguh dengan jiwa santrinya. Kekagumannya terhadap suara emas Atiyah tak mengalahkan imannya walaupun hanya sekedar melirik wajahnya. Dengan gaya MC-nya yang khas ternyata membuat Atiyah kagum. Pria berkaca mata yang penuh percaya diri itu melekat di pelupuk matanya. Cowok yang aktif seperti Raihan itulah tipe idaman Atiyah. Tak jarang ia tertawa dengan humor yang dibawakan Raihan saat menjadi MC. Kekagumannya yang tak tertahankan membuatnya tak kuasa menahan rasa dan akhirnya ia menoleh sekelebat tatkala piala hendak diberikan Ustadz Rahmat kepadanya. Tak ada lirikan dari Raihan, Atiyah hanya menemukan senyumnya.
Bayangan Raihan dengan senyumannya terus terngiang dalam pikiran Atiyah sampai ia turun dari panggung. Mata para santri putra membuntutinya sampai tak terlihat kerudung parisnya. Di balik pembatas itulah ia menghilang dan kembali duduk dengan santri putri lainnya.
Nama Atiyah memang sudah terkenal dengan suaranya di seantero Madrasah Aliyah Al-Falah. Dan namanya di asrama putra bagaikan sebuah berita selebritis tekenal yang ditunggu-tungggu kabar tebarunya. Tak heran banyak santri memperebutkannya.
Raihan menutup acara pada kegiatan pentas seni islami antar angkatan se-pondok Al-Falah. Para santri sambil bersiap-siap mengangkat badannya dari kursi lipat dan satu per satu meninggalkan aula.
---0---
            Langit sore masih menyimpan sedikit teriknya mentari. Suasana kembali khidmat ketika para santri berbondong-bondong dengan kitab kuning disandangnya. Di ruang kelas nomor empat inilah Raihan mengaji beserta teman-teman lainnya kelas dua Madrasah Aliyah.
            Sebelum pelajaran dimulai, Raihan sudah sejak lama stand by di kelas dengan Al-qur’an kecil ditangannya, memurajaah hafalannya. Ketika pelajaran hendak dimulai, sebagian santri putra bedesakan ingin meraih kursi dekat dengan papan, berebut mencari tempat strategis untuk tidak ketahuan ustadz ketika berbuat gaduh.
            Bukan tanpa alasan para santri putra memilih duduk di samping papan. Ternyata ada obat mujarab yang membuatnya semangat berangat ke kelas. Ya, sepucuk kertas. Di sela-sela belajar, mereka menggoreskan tinta penuh makna dalam sepucuk ketas. Nama Atiyah sudah biasa tertulis di alamat surat. Dan kata sedemikian basa-basinya tetap saja mengerucut kepada satu arah : c  i  n  t  a .
            Ustadz datang. Mereka menenangkan suasana. Beliau memulai untuk menyemai untaian mutiara hikmah yang diambil dari kitab kuning. Para santri mengikat ilmunya lewat tulisan di bukunya.
            Santri putra yang duduk di pojok samping papan terus memantau ustadz untuk memastikan tidak melihat mereka melempar sepucuk kertas lewat kolong papan pembatas. Sementara Raihan tetap hanyut dalam untaian mutiara Ustadz Rahman, menahan air mata, menyisakan mata yang berkaca-kaca.  Kala itu pengajian mengenai Al-qu’an surat Al-isra’ ayat 23 yang menjelaskan dilarangnya melakukan perbuatan yang mendekati zina. Kata beliau, hal ini sangat lumrah kita lihat dalam kehidupan nyata di mana para remaja muslim dengan tak ada perasaan berdosanya secara terang-terangan berani melakukan maksiat. Pacaran pun termasuk perbuatan yang mendekati zina dan pintunya melalui pandangan dan komunikasi. Kecuali bagi yang sudah siap menikah. Itupun harus lewat perantara dan saksi. Sungguh mulia Islam menjaga kehormatan manusia.
            Panjang lebar Ustadz Rahman berceramah. Raihan dibawa hanyut dalam hikmahnya sampai tak terasa pelajaran hampir usai.
            Dilihatnya buku catatan Raihan dan ia menemukan sepucuk kertas entah dari mana asalnya. Namun ia hiraukan tak disentuh sama sekali.
            Keasyikannya dengan surat khas santri, teputus dengan berakhirnya pelajaran. Seluruh santri membuntuti ustadz keluar dari ruang kelas.
            Dalam perjalanan menuju asrama, Raihan masih dengan buku catatan disandangnya. Tak terasa ada yang jatuh dari selipan bukunya. Diambilnya  sepucuk kertas yang jatuh itu. Kemudian ia membacanya.
            Raihan. Assalamu’alaikum. Semoga dengan surat ini tak membuatmu marah. Aku tahu ke’alimanmu ketika kamu tertunduk di depan aku saat menerima hadiah. Bahkan kamu tak melirik sedikit pun ke barisan santri putri. Kamu dengan gagah dan periangnya menjadi MC. Kau tebarkan senyum sepanjang acara. Aku sangat kagum. Namun kekagumanku tak kuat aku pendam. Takutnya akan basi, membusuk dan tak sempat kamu tahu baunya cinta yang membuncah-buncah dalam dada. Aku ingin sekali menjadi pilihan yang terbaik untukmu.
Atiyah
            Senyum terlukis di bibir Raihan walaupun sosok wanita yang dikagumi banyak santri itu tak sedikitpun ia tahu paras wajahnya. Hanya suara emas yang membuatnya merinding. Namun tak banyak harapan untuk menjadi kekasihnya layaknya teman-temannya yang memperebutkan posisi Raihan ini. Tak ada satupun teman Raihan yang mengetahui surat ini.
            Ia lanjutkan perjalanan menuju asrama dan bersiap-siap melaksanakan shalat maghrib berjama’ah di masjid. Tak lupa buku catatan untuk kajian nanti malam ia siapkan kembali.
            Kali ini mengaji di ruang kelas tujuh dimana gurunya adalah Ustadz. Sulaiman.
            Suasana riuh seperti biasanya di ruang kelas. Masih dengan sepucuk kertas yang berlalu lalang melewati papan pembatas. Untuk kali ini Raihan sempat menulis balasan sepucuk kertas dari Atiyah sebelum kedatangan Ustadz.
            Atiyah.
Terima kasih aku apresasi atas kekagumanmu. Jujur, aku mengagumimu layaknya teman-temanku. Wajar, suara emasmu membuat takjub setiap telinga dan membuatku bertanya-tanya akan pemiliknya. Namun aku tak kuasa barang menolehkan pandangan lekat-lekat kepadamu. Islam memenjarakanku dalam jeruji syar’inya. Bukan sebuah kekejaman, melainkan kemaslahatan. Biar nanti pada waktunya aku bisa mengungkapkan kekagumanku lewat jalan syar’i pula. Ya,  jalan pertunangan dan berlabuh di pelaminan. Untuk saat ini aku masih memburu ilmu, menyiapkan diri untuk mengarungi samudera kehidupan. Selamat berjuang!
Raihan.
            Sepucuk kertas itu estafet sampai ke tangan sosok anggun. Perlahan ia buka kertasnya.
            Perasaan haru sekaligus menusuk, ternyata Raihan tak memberinya ruang. Namun di sisi lain ia turut mendukung sikap Raihan. Ia berfikir dewasa dan menyinggung sikapnya yang selama ini tak bisa menjaga pandangannya dari lawan jenis.
            Sepucuk kertas itu menjadi yang terakhir kalinya berbalas kata. Namun ada janji yang mungkin bermuara pada suatu hari.

---0---

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Political Economy of Palestine: Critical, Interdisciplinary, and Decolonial Perspective

Strategi Pemuda dalam Memberantas Hoaks di Era Milenial Inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 9-26

MENANAMKAN PENDIDIKAN PROFETIK PADA MAHASISWA GUNA MEMBENTUK MAHASISWA TELADAN UMMAT (Essay by Fadlan S)