{BUKAN} Pahlawan Kesiangan

Seorang bapak tua bertopi hitam mengedarkan pandangannya ke sekeliling pemberhentian bus dan angkot. Tatapannya lekat pada setiap pintu, berharap penumpang mengarah ke sebuah becak yang terparkir di pangkalan. Berkali-kali ia mengibaskan topinya dan mengelap keringat di dahinya dengan handuk kecil. Terik mentari menyorotinya hingga dahaga mudah sekali ia rasakan. Roda becak hari ini tidak mengayuh lancar, sepi penumpang. Hanya beberapa orang berumur tua yang menggunakan jasa kendaraan ramah lingkungan ini.
Tak lama seorang ibu dengan sejinjing keranjang belanjaan menghampirinya. Tono langsung memutar haluan menuju arah yang dituju.
Di toko depan sekolah menengah atas, ibu itu meminta becak berhenti dan membayar sejumlah uang yang tak dilihat nominalnya oleh Tono. Hanya senyum yang terbalaskan untuk setiap penumpang. Di saat yang bersamaan, anak-anak SMA sudah bubar dari sekolah. Tono melihat Rantri, anaknya yang masih kelas sebelas tengah berjalan di trotoar. Rantri menangkap tatapan ayahnya dan seketika melihat sekelilingnya memastikan tiada mata yang mendapatinya pulang naik becak. Wajahnya mendung, sama sekali tak memerlihatkan wajah berseri di depan ayahnya. Tono tak mempermasalahkan muka yang tak terlukis senyum itu dan menyudutkan becaknya tepat di depan sang nona cantik seraya mengulurkan tangannya hendak menyalaminya. Rantri acuh dengan uluran tangan itu dan langsung duduk di jok becak memalingkan mukanya dari bangunan sekolah seraya berkata : “Cepat, cepat, Pak.”. Uluran tangan ayah langsung terhempas lemas dan segera mengiyakan titah sang nona cantik yang terduduk di becaknya. 
“Sudah pulang, Nak?”
Pertanyaan itu sepi dari jawaban.
“Nak?”
“Mmm.... “
Muka Rantri masih kusut dan menjawab pertanyaan ayahnya dengan deheman. Tampaknya sekumpulan teman-teman sekolahnya mendapatinya pulang sekolah naik becak. Di antara lalu lalang motor teman-temannya, Rantri menyembunyikan muka cantiknya dengan tas dan kerudungnya.
“Kenapa, Nak?”
Seketika Rantri menghentakkan kakinya ke badan becak. Bruukk.
“Aduuh..”
Rantri menghentakkan kaki pada tempat yang salah. Di ujung pijakan, Rantri menghujamkan kakinya hingga hilang kendali. Ia terjorok ke depan hampir mencium jalanan.
Tono cemas bukan main. Ia turun dari jok, menyelamatkan putrinya yang terjatuh. Rantri semakin kesal. Ia memungut tasnya yang terlontar di depan badannya, bergegas berdiri dan berjalan menjauhi ayahnya.
“Nak, mau ke mana?”
Rantri berjalan lunglai menuju gubuknya yang tak jauh dari tempat itu. Sang ayah menggeleng-geleng kepala atas tindakan anaknya yang penuh pertanyaan. Ia tak mengayuh becaknya melainkan mendorongnya membuntuti putrinya.
Sesampainya di rumah, ia menggebrukkan badannya di atas kasur sambil membuka smartphone-nya.
“Ayah malu-maluin Rantri saja.”
“Malu-maluin gimana?”
“Rantri itu pengen motor, bukan becak butut itu.”
“Sabar, Nak. Besok ayah belikan.”
“Besok, besok. Besok kapan?”
“Do’akan saja ayah rezekinya lancar.”
“Do’a terus. Apa gunanya do’a? Toh bapak yang sering shalat pun gak dikabulkan do’anya.”
Astagfirullah, Nak. Istigfar, jangan bilang begitu.”
“Mulai besok Rantri gak bakal pakai kerudung lagi, percuma taat tapi rizkinya gak telat.”
“Jangan, Nak.”
Rantri mencopot kerudung putihnya dan menjauh menuju kamarnya. Tono mengelus-ngelus dadanya.
---0---
Di suatu pagi yang cerah, Tono membersihkan becaknya. Rantri sudah siap berangkat sekolah dengan rambut pangjang sepundak yang dibiarkan terurai. 
“Nak, ayo berangkat.”
Rantri melengos tanpa jawaban atau salam sekalipun. Sang ayah kehabisan pikir untuk mengembalikan senyum anaknya yang hilang.
Tono kembali melajukan becaknya. Sebuah dealer motor menjadi tujuannya. Ia membawa sejumlah uang yang didapatnya setelah membobol celengan haji. Uang itu tak mencukupi untuk membeli sebuah motor. HP butut dan sebuah cincin almarhumah istrinya harus rela ia jual. Sebuah motor bebek bekas itu siap diantarkan ke alamat gubuknya.
Matahari berada tepat di atas kepalanya. Ia meliburkan diri dari mengojek becak dan langsung menuju gubuknya. Ia tersenyum-senyum tak sabar melihat anaknya yang sebentar lagi akan menaiki motor impiannya. Namun, bruukk. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menghantamnya dari arah satu meter. Walau Tono masih fokus dalam kendalinya, ia tak mampu mengalahkan laju mobil yang sangat kencang. Hanya bagian roda depan yang tersenggol namun badan Tono terlempar sejauh lima kilo meter menyisakan luka di bagian kepalanya. Jalanan di pusat kota seketika ramai sementara mobil itu melengos tanpa jejak. Jasad Tono dikerumuni sekumpulan warga.
Seorang relawan anak SMA berbaju PMR mengangkat jasadnya menuju trotoar. Rantri penasaran dan ikut melihatnya. Ia menyibak sekerumupan orang. Naas, seorang korban yang tewas itu ternyata adalah bapaknya sendiri. Rantri histeris dan menutup mulutnya. Sebuah mobil ambulan membawa jasad ayahnya menuju rumah terakhir.
Rantri tak sempat berganti pakaian. Ia menangis tersedu-sedu mengantar ayahnya yang dipanggil Sang Ilahi. Pada tanah, ia menahan amarah sebab telah menguruk ayahnya bersama cacing dan unsur-unsur hara, membuatnya semakin subur dan membiarkan belatung menikmati dagingnya. Tak ada suara, tapi mulut Rantri menganga, teriakan paling keras tanpa volume. Ia merasa ada setitik yang menetes dari kedua ujung matanya. Lepaslah air bah, mendung akan segera mengurung.
Ia pulang sengkoyongan menuju gubuknya. Sepi, tak ada lagi suara bising ayahnya yang menyuruhnya untuk shalat dan mengaji. Namun ia terheran dengan sebuah motor masih berplastik yang terparkir di depannya. Segera ia merobek plastiknya. Becak usang itu berubah menjadi sebuah motor. Rantri mendapati sebuah surat di atas motornya lantas membacanya.
“Nak, selamat ulang tahun, semoga panjang umur dan sehat selalu. Tak ada harapan dari ayah untukmu selain kamu rela menjaga kerudungmu, menjaga akhlaqmu. Pakai terus kerudungmu supaya kelak rambutmu tak menggantung di atas bara api neraka. Soal rezeki sudah ada yang ngatur. Jadi taat pun harus tetap jalan. Semoga kamu senang dengan hadiah dari ayah ini.”
  Rantri terharu membaca surat itu. Ia sendiri tak menyadari bahwa hari itu adalah hari ulang tahunnya. Kematian ayahnya menjadi pelajaran berharga bagi hidupnya. Ia menjadi tahu bahwa ayahnya adalah sosok pahlawan dalam hidupnya dimana ia selalu ingin memberi yang terbaik untuk anaknya. Entah anaknya menyaksikan atau tidak, mengerti atau tidak, tapi hasrat untuk berkorban itu selalu ada dalam darah dagingnya. Tubuhnya dinomor duakan. Ketika anaknya berbuat sekeji apapun, tak ada benci bersarang di hatinya melainkan do’a dan do’a.
“Mengapa baru sekarang?”
Rantri bertanya-tanya dalam hatinya, kecewa dan ingin marah pada waktu. Ia tak sadarkan diri padahal setiap kali ia meminta, ayahnya selalu memenuhi. Hanya soal waktu. Ketika Rantri meminta smartphone pada masa SMP, ayah menangguhkannya. Bisa saja ayah membobol celengannya untuk membeli apa yang Rantri minta. Namun ayah sayang Rantri sampai ia tak tega membelikan smartphone walaupun kala itu sangat marak. Ibarat engkau meminta sesuatu kepada Tuhanmu, mungkin saja Tuhan mengabulkan dalam waktu dekat, jauh, atau bahkan tidak sama sekali. Bukannya Tuhan tak mendengar suara lirihmu berdo’a, melainkan Dia tahu apa yang terbaik untukmu. Manusia memang serba tahu, padahal Tuhannya lebih tahu. So ngatur, so mendikte Tuhan, protes kepada Tuhan, lalu pergi meninggalkan aturan, mengira bahwa Tuhan lalai. Padahal betapapun seluruh mahluk di muka bumi ini taat, tidak akan menambah kekuasaan-Nya. Begitupun sebaliknya. Sungguhpun berbuat maksiat, tak akan mengurangi kekuasaan Tuhan di muka bumi ini. Hanya manusia berjiwa ikhlas dan tawakkal yang boleh menerima ketetapan Tuhan dengan lapang, baik dan buruknya.
 Baru satu tahun masuk SMA, Rantri sudah minta motor, mengancam ayahnya untuk melepas kerudung. Gejolak anak remaja dengan emosi yang menggebu membuat hati ayah kalah. Ia merasa gagal menjadi ayah karena Rantri memang selalu ingin menang, ayah mengalah. Hanya demi senyum anaknya, ayahpun membobol celengan hingga akhirnya kematian menjemput. Rantri terketuk hatinya oleh sebuah kematian. Kematian membuatnya kembali mengenakan kerudung, mendirikan shalatnya.
“Ayahku bukan pahlawan kesiangan.” Pekiknya dalam diam.

---0---

Comments

Popular posts from this blog

Political Economy of Palestine: Critical, Interdisciplinary, and Decolonial Perspective

Strategi Pemuda dalam Memberantas Hoaks di Era Milenial Inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 9-26

MENANAMKAN PENDIDIKAN PROFETIK PADA MAHASISWA GUNA MEMBENTUK MAHASISWA TELADAN UMMAT (Essay by Fadlan S)