Gundah Ala Santri


Butiran air hujan membasahi bumi pesantren An-Najah meninggalkan suasana syahdu di sore hari. Senandung nadhom asmaul husna bersahutan dengan rintik hujan. Kadang mengundang rasa kantuk ketika mengaji, serasa dininabobokan oleh nyanyian hujan. Maklum, setelah membawa penat selepas belajar di madrasah aliyah, mereka harus berbegegas ke aula menyandang kitab Mukhtarul Ahaadits An-nabawiyah karya Sayyid Ahmad Al-Hasyimi. Kitab ini berisi hadits-hadits yang tersusun secara alfabetis dari huruf alif sampai ya. Hal ini memudahkan para santri untuk mengahafalkan haditsnya karena antara hadits satu dengan hadits yang urutannya berdekatan cenderung bertema serupa. Kiai Didin tampak selalu siap dengan wajah tulusnya menyemai untaian demi untaian hikmah hadits Nabi. Santri terlarut dalam untaian cakrawala ilmu langit.
Di pojok satir[1] itu, seorang santri berhijab lebar warna ungu tak hentinya menitihkan tinta di atas buku catatannya. Buku itu ia taruh bersandingan dengan kitab Mukhtarul Ahaadits. Ia tertunduk, jemarinya lihai menari di atas kertas, sementara ceramah Kiai Didin mengudara menuju telinga, menepi di lubuk hati seorang santri.
Zahira. Ia biasa dipanggil Zahira, si gadis berkulit putih proporsional khas Melayu dan bermata bulat hampir sempurna. Ia dikenal banyak santri di asrama putri karena dia seorang roisah[2] asrama Rabiah Adawiyah.
Bukanlah Kiai Didin jika tidak ada guyonan dalam ceramahnya. Sepasang telinga yang mendengar jeli dawuhannya akan tertawa serasa ada yang menggelitikan pinggang. Para santri kembali terbangkit dari anggukan kantuknya yang tak tertahankan.
Kajian berakhir.
Setiap hari Zahira menuju ke kantor untuk menunaikan amanahnya. Jika tidak mengambil obat-obatan, ia mengisi tinta spidol, atau hanya sekedar mengecek kantor. Ia berlalu lalang antara kantor dan asrama memantau keadaan para santri tiap kamar. Jika ia menjumpai santri yang sakit, maka segera ia tangani lalu ia beri obat atau dirawat di klinik pesantren jika diperlukan penganganan lebih lanjut. Kadang ia juga menjumpai santriwati nakal yang meloncati pagar asrama, pulang malam tanpa seizin pengurus. Suatu malam, ia menjumpai santriwati nakal yang tertangkap basah di depan ibu roisah. Zahira yang mengenali muka itu lantas mencatatnya. Sudah tidak salah lagi bahwa ia melanggar peraturan pondok.
“Lain kali izin pengurus terlebih dahulu jika ada acara luar pondok supaya gerbang utama pondok terbuka untukmu. Teteh kasihan lihat kamu harus loncat pagar segala. Janji ya Birul, Tina ?” ujarnya dengan tegas.
“Iya Teh, kami janji.”
Birul dan Tina lantas menyalaminya dan terberingsut pergi menuju kamar.
“Gimana perkembangannya asrama bulan ini Zahira?” Tanya ustadz Rahmadi, ketua umum santri putra dan putri.
Alhamdulillah Ustadz, sejauh ini terpantau kondusif. Ada beberapa santri yang sakit ringan dan telah kami tangani. Kebanyakan sakit demam. Mungkin karena cuaca dingin dan sebagian santri kurang daya tahan tubuh.”
 “Bagaimana untuk yang lainnya?” Ustadz Rahmadi menyebarkan pandangan kepada segenap pengurus santri putri.
“Dua orang santriwati ketahuan loncat pagar pondok. Tiga hari yang lalu tepatnya. Keduanya telah kami sidang di kamar pengurus dan terbukti melanggar peraturan pondok, yaitu keluar malam lewat pukul 20.00 tanpa seizin pengurus.”
Ustadz Rahmadi hanya mengangguk.
“Bagaimana dengan santri putra, Aiman ?”
Santri berkumis tipis dengan jenggot berusia muda itu adalah rois[3] asrama Abu Bakar. Dengan lantang dan suara tegasnya ia angkat bicara. Ia tetap dalam ketawadhuannya, tampak dalam suaranya yang direndahkan di depan ustadz-nya.
Alhamdulilah sampai saat ini terpantau aman dan lancar. Pembayaran uang SPP bulanan pun juga mengalir,” ucapnya.
“Namun ada permasalahan klasik tadz. Sebagian santri mengeluhkan sandal dan sepatu yang dighasab[4] terus-menerus. Bahkan ada yang hampir tidak kembali lagi,” tambahnya. Aiman sedikit melukis senyumnya. Disambut barisan pengurus putri di seberang meja berbentuk segi empat. Tidak kurang dari lima orang di setiap pengurus putra dan putri.
“Iya, Aiman, Zahira. Saya rasa itu memang permasalahan klasik di berbagai pesantren. Dari kaca mata negatif, itu memang sebuah pelanggaran secara syariat muamalah. Namun jika kita melihat dari sisi lain, budaya ghasab juga mencerminkan kekeluargaan di antara para santri. Betul tidak ?”
Ustadz Rahmadi memulai tawa ringan, disusul para pengurus. Seisi kantor tertawa renyah.
“Itu hanya alasan bagi santri peng-ghosob. Mereka berdalih bahwa semua barang yang ada di pondok itu milik semua santri. Pohon mangga depan rumah kiai pun milik santri. Katanya sih semua barang pondok itu milik santri. Tapi anehnya, tidak semua barang santri itu milik pondok.”
Tawanya masih berkelanjutan. Setelah reda, Aiman kembali angkat bicara dengan mengacungkan tangan terlebih dahulu.
“Tapi Ustadz, saya punya inisiatif lain untuk meminimalisir kasus ghosob yang sudah merajalela ini.”
Ustadz Rahmadi meliriknya, tampak mempersilakannya untuk angkat bicara.
“Terlintas di pikiran saya untuk membuat sebuah regulasi baru. Jadi setiap santri wajib menaruh sandal sepatunya di rak sepatu yang ada di dalam kamar. Jika dibiarkan di depan kamar atau di tempat yang sekiranya itu tidak pantas dipandang sebagai tempat ditaruhnya sepatu, maka dibuat sebuah kesepakatn bersama bahwa barang itu halal untuk dighasab. Saya harap regulasi baru ini bisa meminimalisir keluhan santri yang kehilangan sendalnya.”
“Bagaimana langkah mensosialisasikannya?”, kritis Ustadz Rahmadi.
“Lewat maklumat berupa kertas yang ditempel di papan pengumuman serta maklumat langsung secara lisan ketika musyawarah bulanan seluruh santri.”
“Ide bagus dan bisa diterapkan. Bagaimana jika hal ini diterapkan di asrama putri juga, Zahira?”
“Saya rasa tidak perlu ustadz. Karena kasus ghosob-mengghosob di asrama putri tidak terlalu sering. Namun jika dimaklumatkan di asrama putri juga akan lebih baik Ustadz.”
 Kalau begitu, maklumatkan saja kepada seluruh santri. Semoga membawa kemajuan untuk pesantren kita ke depannya. Aamiin...”
Rapat mingguan pengurus santri putra dan putri itu berlangsung khidmat.
---0---
“Zahira, ini surat maklumatnya sudah bisa dibahas pada musyawarah santri. Coba dicek terlebih dahulu.”
Aiman menyerahkan seberkas kertas kepada Zahira di depan kantor. Zahra menerimanya. Setelah beberapa saat, Aiman lantas berbalik badan kembali ke asrama.
“Tunggu! Suratnya belum distempel.”
“O iya, aku lupa. Aku ambilkan dulu ke kantor putra. Intadhir huna![5]
Nia, teman Zahira membisikinya untuk cepat-cepat beranjak dari kantor.
Setelah beberapa saat, Aiman datang membawa stempel, membubuhkannya di kertas, lalu beranjak dari kantor.
Di sela kesibukannya belajar di sekolah dan mengaji di pesantren, para pengurus santri ini meluangakan banyak waktunya untuk kepentingan pesantren. Satu sama lain saling bahu-membahu menciptakan suasana pesantren yang sesuai dengan cita-cita pesantren. Mulai dari lingkungan pendidikan, kesehatan, keamanan, dan ketertiban. Di sela waktu formalnya untuk rapat, adakalanya pengurus mengagendakan acara santai seperti ngaliwet[6]. Kedekatan antara pengurus pun semakin erat, dan memicu semangat kinerja mereka.
---0---
Kamu tahu, di antara sekian banyak pertemuan, akan ada sekelebat rasa yang mampir di hati ? Manusiawi ? Lelaki siapa yang tidak merindukan kejelitaan Zahira yang pintar dan aktif ? Tak terkecuali Aiman. Bayangan wanita itu selalu tersangkut di pelupuk matanya.
“Gimana, ketemuan sama bu roisahnya, seneng kan?” Tanya Darsim.
Wis, apaan sih? Buat kepentingan rapat kok seneng.”
“Kali aja. Tuh, kan senyu-senyum sendiri.”
“Kamu tahu kabar bahwa Zahira akan menikah seusai lulus nanti?” Sahut Bani.
Aiman menggeleng, mengisyaratkan Darsim untuk melanjutkan ceritanya. Di perjalanan menuju asrama, mereka bertiga memperbincangkan sesuatu yang menarik penasaran Aiman.
“Seperti biasanya lah Man. Perempuan cantik, pintar, dan putri kiai, pasti sudah banyak yang antre. Dan kamu sepertinya telat Man.”
“Telat apanya Ban?”
“Telat untuk mengkhitbah[7] Zahira.”
“Ah, kamu ada-ada saja.”
“Tapi kamu nyesel kan?”
Aiman terbatuk. Di bawah pohon taman asrama ini, ia edarkan pandangannya. Mereka terhenti sejenak dan duduk di taman depan asrama.
“Memang belum saatnya bagiku untuk meminang perempuan. Apalah daya aku, hanya seorang santri....”
“Dengan segudang prestasi dan pengalaman berorganisasi, tampan, dan dekat dengan kiai pula.” Potong Darsim. Aiman menggeleng.
“Entahlah apa yang kamu bicarakan. Yang penting aku sediri tidak menyesal. Toh pada saatnya, nanti akan tiba jodoh kita. Sekarang itu masa-masanya memperbaiki diri. Orang baik tetep untuk orang baik kan dalam Al-Qur’an nya?”
“Siap ustadz. Betul.”
“Nah, kamu tahu sendiri kan.”
“Tapi Man, perempuan harus kita cari juga kali..” protes Darsim.
“Iya. Kan pada saatnya Dar.”
“Saatnya kapan? Kalau dinanti-nantikan, takutnya sudah direbut orang.”
“Ya enggak lah Dar. Maksudnya, saatnya itu ketika kita sudah mapan dan siap untuk berkeluarga. Sudah toh, yakinkan saja pada Dzat yang telah menciptakan makhluqnya berpasang-pasangan.”
“Beneran nih, gak mau ancang-ancang buat nyari jodoh? Nanti keburu direbut orang loh...” rayu Bani dengan sekilas tawa.
Perkataan itu sedikit menggelitik Aiman. Ia beristigfar dalam hatinya.
Astagfirullah,, ini memang ujian para pemuda Ban, dari zaman dulu hingga kini. Pemuda itu masanya merasakan kematangan hasrat manusiawinya. Katakanlah pacaran. Jika nafsu kita menurutinya, maka tamatlah riwayatmu karena sudah dikelabuinya.”
“Apa nafsu perlu dimatikan? Kan lebih gak wajar Man.”
“Bukan. Nafsu dalam diri kita hanya akan mati ketika nyawa kita sudah dicabut oleh Yang Kuasa. Artinya nafsu itu memang bagian dari diri kita. Kita hanya perlu mengeremnya, bukan memusnahkan.”
“Lha gimana toh kamu ini Man, bingung aku. Katanya pacaran itu manusiawi. Tapi katanya gak boleh karena itu nurutin hawa nafsu. Piye iki?”
Percakapan itu berlalu seiring senja yang semakin menua.
--0—
Di suatu sepertiga malan, Aiman terbangun seperti biasnya. Ia sudah kebal dengan dinginnya air wudhu yang membasahi kulitnya. Beberapa santri juga sudah terbangun mengisi shaf demi shaf masjid. Lampu tampak belum nyala. Santri terhanyut dalam sujud tahajjudnya. Di shaf paling depan itu, Aiman menegakkan takbir. Tampak lama sekali ia berdiri. Rupanya ia mengulang hafalan Qur’annya ketika shalat. Kemudian ia ruku’ i’tidal, lantas sujud. Dalam sujudnya, ia tampak lebih lama daripada rukun yang lainnya. Ia kerahkan semua rintihan do’a dan harapannya dalam keheningan sepertiga malam. Hanya Tuhan dan ia seorang diri yang tahu cita-citanya. Seperti inilah gundah ala santri.




[1] Sebuah kain penghalang antara santri putra dengan santri putri. Biasanya berbentuk gorden yang bisa dibuka tirainya sewaktu pengajian berakhir.
[2] Ketua putri
[3] Ketua putra
[4] Dipakai orang lain tanpa sepengetahuan dan tanpa seizinnya.
[5] Tunggu di sini
[6] Berkumpul dan makan bersama di atas daun pisang dengan menu nasi liwet khas Sunda. Biasanya cukup dengan lauk ikan asin peda dan sambel.
[7] Meminang

Comments

Popular posts from this blog

Political Economy of Palestine: Critical, Interdisciplinary, and Decolonial Perspective

Strategi Pemuda dalam Memberantas Hoaks di Era Milenial Inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 9-26

MENANAMKAN PENDIDIKAN PROFETIK PADA MAHASISWA GUNA MEMBENTUK MAHASISWA TELADAN UMMAT (Essay by Fadlan S)