Berhati makkah


“Kamu serius mau kuliah ke Jerman?”
            “Serius.”
            “Gimana dengan iman yang terpatri di hatimu? Masih bersikeras mau ke Jerman? Mau dibawa ke mana almamater pondokmu?”
Ia menundukan kepala.
            Zaki menarik nafas. Debur air sungai Nil riuh ditiup angin yang cukup kencang. Di tengah sibuknya Kota Kairo, Zaki dan Rendi terduduk di maqha[1] yang menghadap ke muka sungai terpanjang di dunia itu.
            “Insya Allah saya siap, Ren.” jawabnya tenang.
            Rendi kecewa. Bukan jawaban itu yang diharapkan.
            “Tapi kan sayang gelar Lc yang nyantol di namamu. Sekian tahun kamu menimba ilmu agama dan kamu buang begitu saja dengan mengambil magister jurusan lain.” Protes Rendi. Ia menyeruput ‘ashir[2] segarnya.
            “Lulusan agama gak boleh terjun ke dunia umum? Gak boleh jadi dokter, polisi ataupun pengusaha?”
            Rendi tertegun. Diamnya adalah jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan Zaki.
            “Terus siapa yang menduduki kursi itu? Non-muslim?” Zaki meneruput kembali ‘asirnya. “Islam bukan agama sekuler. Dunia terangkul oleh Islam. Nabi Muhammad dalam kesehariannya tak lepas dari hal-hal keduniaan. Apalagi beliau di samping seorang kepala agama adalah seorang kepala negara. Dunia dan akhirat adalah sama di mata seorang muslim. Namun dalam kadarnya memang akhirat lebih diutamakan. Dengan pendalaman kita akan ilmu akhirat itulah yang menjadikan niatku untuk melanjutkan kuliah S2 ke Jerman tak goyah.”
Matanya menikmati deburan nil yang damai.
“Sempat terlintas dalam pikiranku dengan apa yang kau katakan. Aku ceritakan kabar beasiswa yang kuraih ini kepada orang tuaku. Bercak kesedihan terlukis di wajah mereka. Tapi itu tak lebih dari sekedar khawatir mereka kepadaku. Akhirnya mereka mengizinkanku.” Jelas Zaki.
            “Syukurlah kalau begitu. Semoga sukses. Ke manapun kamu kuliah, persahabatan kita jangan terputus. Aku akan meneruskan S2 di ma’had aly pondok Al-falah sekaligus mengabdi di sana.”
            “Iya sobat. Sampaikan salam saya kepada teman-teman. Salam dari Zaki Mubarak.”
            “Insya Allah.”
            “Oh iya sobat. Kalau nikah, jangan lupa undang aku ke walimahnya. Syukur-syukur pas aku pulang ke Indonesia.”
            “Pasti.”
            Di penghujuang kuliahnya, Rendi dan Zaki mengisi libur pasca wisuda di sungai Nil. Mereka adalah santri terbaik di pondoknya dan mendapat beasiswa kuliah di Al-azhar, Kairo.
            ---0---
            Pesawat Garuda mendarat di belahan bumi Eropa, tepatnya di Bandara Zurich. Bandara ini tak sebesar bandara Eropa pada umumnya. Namun ia terkagum dengan bar kotaknya yang dibangun memanjang sepanjang elevator utama. Bar berbentuk seperti potongan cokelat itu diletakkan di sudut bandara. Lampu terang benderang menyala dari dalam bar. Terkesan ekslusif dan ellegant.
“Munich University”. Zaki bekumpul dengan mahasiswa-mahasiswa dari berbagai penjuru dunia. Gabriel dan Kamil adalah dua teman barunya yang ia kenal di KBRI Jerman. Mereka sama-sama dari Indonesia dan mengenyam jurusan yang sama, kedokteran. Mereka bergabung dalam oganisasi PPMI Jerman dan tinggal di sebuah apartemen.
            “Perkenalkan nama saya Zaki dari Sukabumi.” Ucapnya sambil menjulurkan tangan dan menyalaminya.
            “Gabriel, dari Surabaya.”
            Ia membungkukkan sedikit badannya hingga terlihat kalung salib di lehernya.
            “Saya Kamil dari Garut.”  
            Sudah tertebak dari logat uniknya yang berbau Sunda.
            “Kuliah semester berapa mas?” tanya Zaki.
            “Tiga.”
            “Bagaimana pengalamannya kuliah di Jerman?”
            “Kamu akan menemukan hal-hal unik yang harus kita input ketika pulang ke Indonesia. Soal pendidikan jangan kau tanya lagi. Apalagi kedokteran.” Jawab Kamil.
            “Ujian semesternya?”
            “Itu sih relatif. Contohnya teman saya ini, Kamil. Dia BJ Habibinya masa kini.” Ucap Gabriel menepuk pundak Kamil.
            “Ah, kamu bisa saja. Tapi betul juga apa kata Gabriel. Kalau kamu berjuang keras hasilnya akan mengagumkan dan jadi orang TOP di sini. Cari kerja, gampang. Tapi sebaik-baiknya kamu di sini, contohlah Pak Habibi. Ia menuai kesuksesannya bukan di negara lain, tapi negara sendiri. Walaupun minim apresiasi layak dari pemerintah, tapi hatinya untuk Indonesia.”
            “Ngomong-ngomong, kamu lulusan mana?” Celoteh Gabriel.
            “Universitas Al-azhar, Kairo ngambil Syariah.”
            Kamil lantas memeluknya.
            “Masya Allah, khirrij sanah kam?” [3]
            “Hadzihissanah.”[4]
Mereka tampak akrab. Sebenarnya Zaki hendak menanyakan kondisi Islam di Jerman. Namun ia urungkan.
Salju menyambut bulan pertama di langit Jerman. Kamil meminjamkan jaket tebal kepada Zaki.
Jarak kampus dari apatemen hanya lima menit ditempuh dengan taksi. Tapi mereka lebih memilih jalan kaki bersama mahasiswa lainnya menikmati pemandangan kota yang tertata rapi dan bersih. Memang pejalan kaki di tanah Eropa lebih banyak daripada pengendara mobil.
Zaki mulai beradaptasi.
“Kalau Jerman ditapaki oleh mahasiswa soleh seperti kamu, jadi berkah.” bisik Karim.
“Berkah gimana?”
“Mahasiswi-mahasiswi berbusana tertutup. Mereka pakai jaket tebal dan topi khusus.”
“Apa hubungannya dengan kehadiran saya? Kalau musim saljunya sirna, mereka akan jual kembali aurat-auratnya.”
“Hahaha... Betul juga Zak.”
Zaki menggigil. Kulitnya masih sensitif dengan cuaca baru.
Karim mempekenalkan kampus barunya.
“Itu dosen kita.”
Karim menunjuk seorang pemuda berkulit putih, rambut pirang, dan berjas hitam yang terduduk di meja bawah pohon bersama sekelompok mahasiswa yang sedang berdiskusi.
 “Semuda itu ia jadi dosen?”
“Ya. Dosen muda banyak di Jerman. Dosen yang 10-20 tahun lebih muda dari dosennya sudah biasa. Telebih ketika mengajar mahasiswa asing seperti kita.”
“Kok bisa ya?”
“Kita lihat satu sample. Bedakan cara jalan mereka dengan kita”
Zaki mengamati orang-orang yang berlalu lalang di sekelilingnya.
“Dari jalannya saja sudah terlihat bagaimana kinerja kesehariannya, cepat, tanggap, tidak bertele-tele. Jarang bahkan hampir tidak pernah ada undangan yang datangnya telat. Orang macam kita, santai saja. Ada undangan jam 8, datangnya jam 9. Hahaha.....”
“Beliau meraih post doctoralnya di usia 21 tahun. Orangnya jenius.” Tambahnya.
“Siapa namanya?”
“Professor Zach. Beliau mengajar kita setiap Hari Rabu.”
Mereka menuju ruang belajar.
---0---
Salju mematikan rasa pada tubuh Zaki. Malam itu ia terbangun kemudian menyibak gorden jendela. Butiran salju hingap di kaca. Kota terlihat indah dari lantai 7 apartemen. Ia hendak mengambil air wudhu lalu keluar kamar menuju ruang sempit di belakang apartemen bersebelahan dengan dapur. Di sana mereka shalat tahajjud. Dua sajadah kecil terhampar di ruangan berukuran 2 x 3 meter.
Seusai tahajjud, mereka menuju taman menghadap kota yang berselimut salju tebal.
“Mas, gimana kondisi muslim di Jerman?”
Karim menarik nafas.
“Islam tanpa muslim, muslim tanpa Islam.”
“Maksudnya?”
“Kita lihat orang Islam yang hidup di negara minoriras muslim. Mereka sangat taat beragama. Salah satu contohnya, muslimah ingin sekali berhijab dan kesusahan mencari pekerjaan yang membolehkannya berhijab. Akhirnya sebagian mereka memakai wig sehingga terlihat tak berhijab. Itu cerita dulu. Sekarang, populasi Islam di benua Eropa sudah meningkat walaupun beberapa daerah memang masih melarang wanita berhijab. Sementara di negara mayoritas Islam kita temukan banyak muslim yang memeluk Islam secara setengah-setengah, tidak kaffah[5]. Islam yang sekedar KTP dan menjadi bunglon di antara jutaan muslim di sekitarnya. Kita sulit membedakan mana wanita muslimah atau tidak karena sama-sama tak berhijab.”
“Banyak?”
“Tak banyak, namun ada. Itu yang menjadi PR kita yang ditugaskan oleh kiai.”
“Mas, kalau boleh tahu, kenapa Mas tidak melanjutkan S2 di Timur Tengah saja?”
Zaki menanyakan pertanyaan yang dilontarkan Rendi kepadanya.
Karim menuju kursi panjang.
“Kiai pernah berkata. Jadilah muslim yang berotak Jerman dan berhati Makkah.”
Zaki mengangguk.
“Jerman sebagai barometer negara berdedikasi tinggi dan penghasil teknologi maju. Makkah menjadi kiblat muslimin seluruh dunia dan menjadi barometer sejarah Islam. Tak semua penduduk tanah suci itu baik dan Islami. Namun dengan kehadiran Islam di jazirah Arab serta banyaknya nabi dan rasul yang diutus untuk membumikan Islam, membuatnya bumi yang Islami sehingga menjadikannya tempat yang mustajabah untuk berdo’a.” Kamil mengubah posisi duduknya.
“Sementara dalam arti maknawi, kita harus menjadi muslim sepintar orang Jerman dalam berdedikasi dan setaat orang Makkah memeluk Islam.”
Zaki semakin paham.
            Mentari merangkak naik. Langit Jerman melelehkan salju yang menyelimuti sudut kota. Musim salju segera sirna. Zaki berangkat ke kampus.
            Ia mengambil air wudhu lalu ia memasuki ruang kuliah. Kehadiran mahasiswa lain yang tampaknya ahli dalam bidang kedokteran sempat membuatnya minder. Namun ia tak menganggapnya serius, sewajarnya saja. Sejarah prestasi bidang biologi yang diraihnya di MTs dan MA akan diukirnya kembali menghasilkan relief-relief prestasi yang lebih gemilang dan nyata. Ia yakin bisa menguasai mata kuliahnya. Semangat Ibnu Sina berkobar di dadanya.
            Seusai pembelajaran di kampus, ia mengunjungi perpustaan kota. Kereta U-Bahn[6] mengantarkannya ke gedung perpustakaan yang bertubuh klasik, megah, lengkap dan menyimpan nilai sejarah.
            Hatinya berdetak keras. Mahasiswi-mahasiswi berpakaian minim duduk di sampingnya. Dua sejoli berciuman. Jangankan dua sejoli, sejenispun ada. Pemandangan yang menggoyahkan iman. Iman yang belum berpatri kuat dalam hati. Hati yang lengah terhadap pengawasan Tuhan.
            Ia menuju kamar mandi untuk memperbarui wudhunya. Diambilnya sebuah buku tebal di rak lalu disantapnya.
            Langit menjelang sore. Pengunjung meninggalkan perpustakaan menyisakan mereka yang masih sibuk melahap buku dan mengerjakan tugas kuliah. Mereka adalah para mahasiswa. Tak terkecuali Zaki. Ia fokus melahap buku-buku tebal.
            Dua tahun kemudian
            Zaki berada di penghujung masa kuliah magisternya. Seringkali ia diminta menghadap Dosen guna mengikuti ujian lisan dan diskusi-diskusi kesehatan.
            Zaki menelusuri lorong menuju ruangan dosen. Sepanjang perjalanan, ia mengagumi ornamen klasik bangunan dengan hamparan karpet di sepanjang lorong dan sorotan lampu terang di setiap bagian atas figura foto. Ia sampai di ruang nomor 16 bertuliskan Profesor Carl, spesialis bedah. Diambilnya kartu ujian dan mencocokan kembali nama dosen yang tertera di jadwal. Ia yakin ini adalah ruangannya. Lalu ia mengetuk pintu.
            Setelah satu ketukan pintu, seorang dosen muda berkulit putih dengan rambut panjang terurai, bersepatu hak sedang muncul di balik daun pintu. Dialah Professor Carl. Zaki tak kuasa memandang dosennya yang mengenakan kaos ketat dengan warna mirip kulitnya dan berok pendek. Dosen menyambutnya dengan senyum manis. Mata Zaki shock melihat pakaiannya yang minim dan ketat seperti ketupat, luar memperlihatkan lekukan dalamnya. Nyaris tak berbusana.
Wenn Ihr Professor Carl?[7]” tanya Zaki.
Willkommen.[8]Perempuan itu mengangguk, mempersilakannya masuk dan duduk di kursi depan meja kerjanya. Zaki menundukan pandangannya. Sesekali ia melihat-lihat buku-buku tebal tertata rapi di rak sudut ruangan. Dosen menyambutnya ramah dan memperkenalkan dirinya. Katanya, ia terkagum dengan kedatangan seorang mahasiswa dari Indonesia.
“Kamu kenal BJ Habibi?” tanyanya dalam bahasa Jerman. Dengan bangga Zaki menjawab, “Ya. Beliau adalah presiden ke-tiga Indonesia.” Senyum simpul terlukis di bibir dosen. “Aku kagum padanya. Sampaikan salam dari saya, Carl, anaknya dosen yang dahulu mengajarnya.”
            To the point, sang dosen memberinya pertanyaan-petanyaan penting seputar kedokteran, khususnya dokter bedah. Zaki menjawabnya dengan percaya diri. Acap kali dosen itu mengangguk-ngangguk puas dengan jawabannya. Berkali-kali ia memujinya. Sampai-sampai ia menyebut Zaki sebagai cucu Habibi. Sontak Zaki tersenyum mendengar guyonan sang dosen. Meski demikian, rasa was-was masih dirasakan Zaki yang membuat kepalanya enggan menengadah. Tapi ia puas dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengelitik wawasan keilmuannya.
            Tak terasa sudah dua jam ia duduk di kursi. Dosen mengakhiri  ujian lisannya dan mempersilakannya pulang.
Sempat terbesit rasa kecewa, putus asa dan menyerah di hatinya untuk kembali menemui dosen yang nyaris telanjang itu. Zaki adalah laki-laki normal. Pemandangan itu cukup memancing syahwatnya. Istigfar diucapkannya setiap saat. Pandangan mata yang jatuh di aurat seorang wanita itu masih membekas di pelupuk matanya dan dosa membayanginya.
Ilmu dan iman bagaikan sekeping logam yang sama pentingnya untuk diraih. Alhasil, ia terus berusaha menerjang bisikan iblis yang senantiasa membuat manusia terlena dan ia tak akan berhenti menggoda manusia. Janji itu disaksikan Tuhan, Adam dan dirinya ketika hendak turun ke bumi untuk menggangu manusia, menggoyahkan manusia dari jalannya.
Minibus mengantarkannya pulang ke apatemen. Ia melirik jam tangan. Sudah pukul 11 malam. Sesampainya di apartemen, ia sempatkan untuk shalat witir.
Sebelum tidur, ia kembali melahap buku tebal dengan beberapa judul kedokteran. Saking nikmatnya baca buku, ia sampai lupa waktu. Jarum jam sudah menunjukan lewat dari tengah malam.
Dingin menusuk tulang dan syarafnya. Ia tutup jendela dan ventilasi udara. Lalu ia mengambil wudu dan merebahkan badan. Wirid mengantarkannya ke alam mimpi.
            Keesokan harinya ia kembali setor wajah di hadapan dosen. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan lebih menantang dan memaksa Zaki untuk mengerahkan wawasan keilmuannya di hadapan dosen. Sang dosen merasa puas dengan jawaban Zaki. Ia dianggap lulus dan layak mendapatkan ijazah S2 dengan predikat Cumlaude.
            Tibalah wisuda mahasiswa magister dari seluruh fakultas di Munich University. Gedung megah dan klasik dihadiri seluruh dosen. Satu per satu mahasiswa maju ke depan dan mengenakan medali kelulusan.
            Lega dirasakan Zaki, Karim beserta mahasiswa lainnya. Ia berkemas di apartemennya untuk pulang ke tanah air. Ia melirik laptop yang masih menyala di meja. Satu pesan masuk dan lantas membukanya. Ada pesan dari bapak bupati.
            Dari : syamsudin@gmail.com
            Zaki, bagaimana kabarmu di Jerman? Senang rasanya putra Sukabumi bisa terbang ke sana untuk mencari ilmu. Bapak ucapkan selamat atas keberhasilanmu.
            Ada sebuah tawaran dari koran harian Islami. Sebuah rubrik bertemakan “hikmah” dipersembahkan untukmu. Senang rasanya jika Zaki bisa menerimanya.
Tak hanya itu, kamu juga diminta untuk mengisi seminar keislaman di berbagai pondok dan rumah sakit islam di daerah Sukabumi. Terutama di pesantren almamatermu, Al-Falah. Kiai Arifin sudah menantimu. Kamu diminta untuk menceritakan pengalamanmu mencari di ilmu di dua negara dengan wajah berbeda, Mesir dan Jerman.
            Sekian pesan dari Pak Syamsu. Selamat datang di tanah air.
Terima kasih.
            Mata Zaki berbinar-binar bercampur bangga. Semenjak saat itu, Zaki menebar ilmunya untuk masyarakat di daerahnya, menebar nilai-nilai keislaman, dan membumikan nilai-nilai toleransi di muka bumi.
            ---0---




[1] Warung kopi
[2] Jus buah
[3] Masya Allah, Lulus tahun berapa?
[4] Tahun ini
[5] Secara menyeluruh, sempurna
[6] Kereta bawah tanah
[7] Apakah anda Profesor Carl?
[8] Selamat datang

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Political Economy of Palestine: Critical, Interdisciplinary, and Decolonial Perspective

Strategi Pemuda dalam Memberantas Hoaks di Era Milenial Inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 9-26

MENANAMKAN PENDIDIKAN PROFETIK PADA MAHASISWA GUNA MEMBENTUK MAHASISWA TELADAN UMMAT (Essay by Fadlan S)