Ibu


Ia bersiap-siap untuk kemah bersama teman lamanya. Tas gunungnya terisi penuh dengan barang bawaan. Tak lupa kamera SLRnya yang sudah full terisi baterai juga dibawanya. Beberapa bungkus mie ditaruh di dalam tas, pakaian secukupnya, dan jaket tebal yang terpasang di badan tinggi idealnya.
            “Makan dulu, Nak!”
            Di sela kesibukannya menata pakaian, ia acuh terhadap suara itu seolah-olah berkemas lebih penting dan tidak ada lagi waktu selain detik itu.
            “Makan dulu, Nak!”
            Suara itu terdengar untuk yang kedua kalinya. Ia jawab dengan hembusan udara dari dalam tenggorokannya. Tangannya sibuk memilah-milih pakaian. Di meja makan sana, sang ibu menata piring dan menuangkan nasi. Kerap kali ia membuang muka ke arah belakang, menutup mulutnya dengan sapu tangan dan batuk. Setelah nasinya sudah siap, ia menghampiri anaknya di kamar dan menyibak gorden pintu.
            “Ayo, Nak, nasinya sudah siap.”
            Sang anak sedang asyik menerima telpon dari temannya. Tangan kanannya sibuk memegang handphone. Suara dalam disertai batuk-batuknya semakin jauh di telinga sang anak. Sang ibu menunggu sesaat berharap anaknya cepat memutus telpon. Penelpon malah terbahak-bahak seperti memperbincangkan sesuatu yang seru, lebih penting dari suara ibunya. Ia mendekati daun jendela, melihat jam dinding dan kembali tertawa-tawa. Sang ibu dengan langkah super pelannya kembali ke meja makan, terduduk menunggui anaknya. Ia menuangkan tempe ke piring dan mengisi gelas dengan air bening.
            Sang ibu masih termenung. Mulutnya lirih melantunkan shalawat walau batuk menyerangnya. Lama ia menunggu, sang anak tak kunjung datang.
            Ia keluar dari kamarnya lengkap dengan tas gunung di punggungnya.
            “Bagas, makan dulu, Nak!”
            Sang ibu berhasil menarik tangannya. Tangan gagah Bagas luluh dengan sentuhan tangan sang ibu. Ia tak tega melepaskan pegangan erat tangan ibunya yang lemah. Bagaspun terduduk dengan muka kusut menyimpan marah. Nasi dan lauk di depannya tak menggairahkan nafsu makannya. Sang ibu menyodorkan masakan yang sudah disiapkannya. Bagas mulai menyuapi mulutnya dengan sesendok nasi.
            “Tempenya tidak dimakan, Nak?”
            Sang ibu dengan lembutnya menawari masakan spesialnya. Walaupun tempe, tapi sang ibu pandai meraciknya dengan bumbu bacem yang aromanya menggiurkan setiap hidung. Namun tidak untuk anaknya yang kini menginjak remaja. Sang ibu sudah lama tak melihat senyum riangnya ketika sang ibu menyuapinya makan dengan tempe. Bagas kecil sangat menyukai masakan ibunya. Ia sering menggado tempe racikan ibunya. Entah apa yang membuatnya berubah. Meski demikian, sang ibu tetap lemah lembut dan sepenuh hati melayani anaknya.
            “Ini, Nak, ibu tambahkan lauknya.”
            Bagas mengelak tawarannya.
            “Sudah, Mak, Bagas sudah kenyang.”
            Iapun menggayang makanannya lalu minum.
            “Nak, cuacanya dingin ya?”
            “Tidak, Mak, biasa saja.”
            “Tapi Emak merasa kedinginan begini ya?”
            “Itu Emaknya saja yang kurang istirahat.”
            Dalam benaknya, sang ibu yang sudah menginjak usia senja mengharapkan pelukan hangat anaknya. Namun ia tak sampai hati meminta anaknya untuk menghentikan acaranya pergi main ke luar rumah bersama teman-temannya. Hanya ungkapan itu yang terucap di mulutnya.
            Guntur mengetuk-ngetuk langit. Awan merembet mendung, pucat. Butiran-butiran bujan mulai menghentak-hentak genting rumah. Bagas panik.
            “Tuh, kan. Ini semua gara-gara Emak.”
            Sang ibu terhenyak dengan suara keras anaknya. Mukanya terkejut penuh tanya.
            “Apa salah Emak? Ohok..”
            “Coba kalau Bagas gak makan dulu, pasti sudah berangkat dan sampai dari tadi. Makanannya gak enak lagi.” Bagas berdiri dan menyingkirkan sepiring nasinya yang hampir habis.
            Hati sang ibu tersungkur jatuh mendengar perkataan anaknya. Tidak ada sama sekali niatan sang ibu untuk mengelak anaknya main. Ia hanya ingin makan bersama dan memastikan perut anaknya sudah terisi makanan sekira membuat badannya kuat. Itu saja.
            “Maafkan ibu, Nak. Besok ibu masak yang lebih enak lagi untuk Bagas.”
            Sang ibu berdiri menenangkan emosi anaknya, mengelus-ngelus punggungnya hingga ia kembali terduduk. Meskipun hal itu tak membuat mulutnya merekah tersenyum, namun setidaknya sang ibu telah mengalah dan memang selalu mengalah untuk anaknya.
            Bagas kembali menggendong tas gunungnya, melepaskan elusan tangan ibunya, hendak pergi meninggalkan rumah. Sepersekian detik kemudian, guntur semakin menggelegar. Jutaan butiran hujan semakin menghentak-hentakkan barang-barang di bumi. Angin menggiringnya sehingga membuat tetesan hujan itu seolah-olah berlarian. Tangan lembut ibu kembali merajut tangan anaknya. Kali ini lebih kuat. Bagas menggeliat dan hampir membuat badan ibunya jatuh tersungkur. Beruntung, geledeg yang mengamuk dan kilat yang menyambar menghentikan langkahnya.
“Nak, dengarkan Emak!”
Sang ibu menuntun anaknya terduduk di kursi.
            “Kamu istirahat dulu. Di luar sana masih hujan lebat.”
            Bagas tak bisa berupaya apa-apa. Keadaan menyetujui kehendak ibunya. Alam mengetahui bahwa sang ibu butuh pelukan anaknya. Bagas mengiyakan tanpa berkata-kata dan kembali ke kamar. Sang ibu mengusap dadanya. Beberapa menit kemudian, ia memandang foto usang suaminya yang terpasang di dinding.
            Hujan yang lebat membuat senja semakin gelap. Ia menutup gorden jendela dan mengunci pintu rumahnya kemudian pergi ke kamar mandi dan mengambil air wudu. Dikenakannya mukena putih mas kawin dari suaminya dan melantunkan ayat suci di dalam kamar. Di kamar lain, Bagas menelungkupkan badannya dengan bantal yang menutupi telinganya. Suara dering HP yang berbunyi berkali-kali dibiarkannya. Ia kesal.
            Suara lirih ibunya mengaji masih mengudara di kamar Bagas sampai ia ketiduran dengan pakaian rapi yang belum sempat digantinya.
            “Emak mau ke mana?”
            Senyum ibu hemat sekali. Ia tak rela bahagia di atas penderitaan anaknya. Namun apa daya, rasa itu tak mampu membuatnya bisa saling bertemu.
            “Ibu dipanggil Majikan, Nak.”
            Muka Bagas panik sepanik-paniknya.
            “Lha, Bagas sama siapa, Mak?”
            Sang ibu yang berbusana putih mengkilap semakin mundur menuju arah cahaya di belakangnya. Suara lantunan ayat suci memanggil-manggilnya dari arah belakang. Ia berusaha menarik tangan anaknya yang mengulur-ngulur mengharap bantuannya.
            “Istriku,”
            Ibu menoleh ke arah panggilan. Suaminya memanggil dari arah cahaya itu.
            “Siapa, Mak?”
            “Itu ayahmu, Nak, ayahmu.”
            “Mana?”
            Bagas tak dapat memandang ayahnya yang berdiri tak jauh dari ibunya.
“Bagas,”
            Bagas mengenali suara tegas itu. Ia adalah ayahnya. Ia menoleh-noleh mencari sumber suara namun suara itu tak berwujud padahal telah menggamit tangan emaknya.
            “Maafkan emak, Nak. Emak harus pergi.”
            “Bapa juga, Nak.”
            Sesosok embun di pagi hari itu kian menjauh di pandangan Bagas yang terus mengulur tangannya.
            “Ibu..........”
            Bagas terbangun menggeliat dari tidurnya dan mengedarkan pandangannya. Mukanya berkeringat setelah mimpi yang merasuki alam bawah sadarnya. Ia baru tersadar bahwa ia bangun pada sepertiga malam. Seketika itu ia berlari menuju kamar ibunya. Ia menyibak gorden pintu dan ditemukannya sang ibu yang sedang tersujud dalam shalatnya. Perlahan ia memasuki kamar ibunya. Lama ia menunggu ibunya bangun dari sujud. Bagas terduduk sila di belakang ibunya. Putaran jam dinding yang didengarnya memuai bagai sehari penuh. Ia tetap menunggu muka ibunya untuk dicium dan dipeluknya. Pandangannya tertunduk mengumpulkan segudang asa untuk pintu maaf ibunya. Lama sekali ia menunggu. Ia mengira bahwa ibunya lupa bacaan atau rakaat shalat sehingga tak kunjung bangun dari sujudnya. Tangannya hendak memegang pundak sang ibu untuk mengingatkan. Namun ia urungkan dan kembali menunggunya dalam beberapa menit. Kamar itu hening. Hanya lolongan malam yang di antara ia dan ibunya. Bagas semakin penasaran. Akhirnya ia pegang pundak ibu. Ada perasaan aneh tatkala memegangnya. Bulu kuduknya berdiri. Bilik rasanya mulai pecah ketika ia tahu bahwa sang ibu sudah tidak bernapas. Di malam itu ia peluk ibunya kuat-kuat dan mencium mukanya yang sudah hilang senyum tulusnya seraya berseru panjang.

            “Ibuuuuuuuuuuuuuuuuu...................”

Comments

Popular posts from this blog

Political Economy of Palestine: Critical, Interdisciplinary, and Decolonial Perspective

Strategi Pemuda dalam Memberantas Hoaks di Era Milenial Inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 9-26

MENANAMKAN PENDIDIKAN PROFETIK PADA MAHASISWA GUNA MEMBENTUK MAHASISWA TELADAN UMMAT (Essay by Fadlan S)