Sunset di Pangandaran
“Bumi menyimpan banyak keindahan. Tapi
mengapa manusia yang fitrahnya suka dengan keindahan enggan menjaganya?”
Pertanyaan itulah yang mengganjal di
benak Fendi. Ia ingin menelisik tentang faktor apa yang menyebabkan masyarakat
sekitar, khususnya daerah pesisir selalu mengabaikan keasrian ekosistem laut. Terlebih
setelah ia terpilih menjadi salah satu duta di antara 20 duta kelautan. Ia
diberi amanat untuk mempromosikan kepada masyarakat akan pentingnya menjaga
ekosistem laut.
Ia seorang anak pesisir. Tubuh tinggi dan
kulit berwarna redupnya sudah dikenal oleh deburan ombak sebagai peselancar
ulung. Ia sangat mencintai alam bahari. Tak heran jika hobinya adalah diving,
snorkling dan fishing. Namun di balik itu ia juga ramah akan
lingkungan dan selalu bersahabat dengan alam sekitar.
“Pesawahan
sangatlah indah dan berjasa bagi sektor sandang pangan Indonesia. Tapi mengapa
banyak lahan yang dikonversi menjadi perumahan, pabrik dan gedung-gedung?”
Pertanyaan itulah yang mengganjal di
benak Arman. Ia seorang anak pedesaan dan dirinya dikenal oleh sapi-sapi
pembajak sawah dan burung-burung pemangsa butir-butir padi sebagai petani yang
rajin. Ia sudah lama bersahabat dengan Fendi. Setelah lulus SMA dan berpencar
di universitas yang berbeda, persahabatan tak lantas berakhir. Mereka selalu
menyempatkan untuk bersilaturahim satu sama lain, bertukar cerita tentang
kondisi alamnya masing-masing. Di sela waktu libur kuliahnya, Fendi bermain ke
rumah Arman. Bukan hanya bermain, tetapi ia juga berniat untuk berbagi kepada
temannya yang sedang dilanda ekonomi yang mencekam. Sementara Fendi merasa
ekonominya jauh dari cukup. Nyatanya memang kekayaan maritim di Indonesia lebih
maju dan lebih berpeluang untuk dikembangkan daripada kekayaan agrarisnya.
Setibanya di rumah Arman, Fendi diajak
untuk pergi ke tempat yang biasa ia kunjungi setiap pekan, yaitu pesawahan. Di
sela kegiatan membajak tanah, mereka berdua beristirahat di ladang.
Fendi
menjumpai Arman yang sedang termenung.
“Aku berada di ujung tanduk. Berbelok ke
kanan maupun ke kiri, sama-sama berbahaya, dan diam selalu menjadi jalan
terakhirnya. Aku dihadapkan dengan sebuah rintangan hidup yang sangat pelik.
Tuhan tak adil. Kenapa kemiskinan selalu dijatuhkan kepada orang yang punya
semangat menggelora? Kenapa kemiskinan selalu dibebankan kepada orang yang
punya kelebihan? Kenapa kemiskinan selalu ditimpakan kepada orang yang tak
pernah ketinggalan beribadah?”
Batin
Arman. Hatinya tampak gundah.
“Jangan
melamun terus bro!”
Fendi
menepuk pundaknya. Pandangan Arman seketika itu buyar seiring buyarnya
burung-burung pipit yang memakan biji-biji padi karena terkejut oleh tepukan
tangan Fendi.
“Besok
ikut aku ya!”
“Ke
mana?”
“Ikut
aja!”
Arman
kini berada di suatu tempat yang membuatnya terpukau. Hamparan laut yang
membentang membuat atom-atom tubuhnya bergairah. Ia menemukan sebuah energi
baru dalam hidupnya. Hempasan angin yang menerpanya dari ujung laut yang tak bertepi
memberinya tiupan semangat baru dalam jiwanya. Fendi memandang temannya itu
dengan antusias. Fendi merasa ia tak perlu menjelaskan apapun. Ia merasa Arman sudah
menemukan jawban dari permasalahan yang tergurat di wajahnya.
“Ini
pantai apa?”
“Pangandaran.”
Fendi
mengajak Arman berkeliling menuju pantai sekaligus menjelaskannya. Ia laksana
pemandu wisata.
“Selain dikenal dengan destinasi wisata
alam pantai, Pangandaran juga dikenal banyak menyimpan keragaman wisata alam
lainnya seperti Green Canyon, Pangandaran Waterpark, Curug (air terjun)
Bojong, Santirah River Tubing, Taman Nasional Pananjung, Lembah Putri,
Selasari yang terdiri lebih dari 90 goa, salah satunya goa Sumur Mudal yang
terkenal dengan relief alam dari proses stalaktit dan stalagmite
serta mata air yang mengalir deras hingga mudal –yang menjadikan
asal-usul penaman goa ini--. Itu adalah sebagian destinasi wisata yang banyak
dikunjungi para wisatawan. [1]”
Ia memanggil ketiga temannya yang sedang
melakukan kegiatan rutinnya yaitu edukasi pohon mangrove. Mereka tak lain
adalah duta kelautan juga yang sering berkontribusi dalam wisata edukasi di
Pantai Pangandaran. Sebut saja Budi, Ari dan Samin.
Arman dibawa pada suatu kawasan dengan
atap daun-daun rimbun. Cahaya matahari hanya sedikit yang merembes ke kawasan
itu. Ia tak menginjak tanah sama sekali melainkan berjalan menyusuri
papan-papan kayu. Hewan-hewan tumbuh liar. Lebih dari 100 jenis spesies burung
hidup di sini. Salah satu di antaranya adalah burung langka, yaitu burung
Blekok Asia (Limnodrumus semupalmatus). Ia juga menemukan kera ekor
panjang, kera muka putih dan buaya Caiman Crocodilus. Fauna yang ada
serasa hidup bahagia di habitatnya.
Ia terus berjalan menyusuri pepohonan
mangrove sembari menebar pandangannya. Fendi berada di depan, menuntunnya.
Tempatnya semakin terang dan terang. Sinar mentari mulau menyorotinya. Ternyata
langkah kakinya itu tiba pada sebuah jembatan sepanjang 250 meter yang indah
menjorok ke pantai.
“Ini jembatan apa Fen?”
“Jembatan Cinta. Pengunjung menamainya
dengan jembatan cinta.”
Arman mengangguk.
“Yang lebih dikagumi adalah keberadaan
kebun mangrove ini yang dijadikan wahana edukasi. Ini sangat penting mengingat
kesadaran akan lingkungan itu tidak hanya untuk para ahli kelautan dan
lingkungan. Seluruh elemen masyarakat juga harus turut menjaganya. Mengapa
hutan mangrove itu penting? Karena hutan mangrove ini sangat bermanfaat untuk
kelestarian ekosistem bumi dan lingkungan. Di antaranya mencegah instrusi air
laut atau peristiwa perembesan air laut ke tanah daratan. Intrusi laut dapat
menyebabkan air tanah menjadi payau sehingga tidak baik untuk dikonsumsi. Hutan
mangrove berfungsi mengendapkan lumpur di akar-akar pohon bakau sehingga dapat
mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan.”
“Paham gak lo? Ngangguk-ngangguk
aja.”
“Iya, aku paham.”
Ari bergantian untuk menjelaskan.
“Kedua, mencegah erosi dan abrasi
pantai. Erosi adalah pengikisan permukaan tanah oleh aliran air. Sedangkan
abrasi adalah pengikisan permukaan tanah akibat hempasan ombak laut. Hutan
mangrove memiliki akar yang efisien dalam melindungi tanah di wilayah pesisir sehingga
dapat menjadi pelindung pengikisan tanah akibat air. Ketiga, sebagai
pencegah dan penyaring alami. Hutan mangrove biasanya dipenuhi akar pohon bakau
dan berlumpur. Akar tersebut dapat mempercepat penguraian limbah organik yang
terbawa ke wilayah pantai. Selain pengurai limbah organik, hutan mangrove juga
dapat membantu mempercepat proses penguraian bahan kimia yang mencemari laut
seperti minyak dan deterjen dan merupakan penghalang alami terhadap angin laut
yang kencang pada musim tertentu.”
Samin mulai angkat bicara dan
menjelaskan.
“Dengan lingkungannya yang penuh dengan
sumber makanan menjadikan hutan mangrove ini sebagai habitat fauna.
Hutan mangrove merupakan tempat tinggal yang cocok bagi banyak hewan seperti
biawak, kura-kura, monyet, burung, ular dan lain sebagainya. Beberapa jenis
hewan laut seperti ikan, udang, kepiting dan siput juga banyak tinggal di
daerah ini. Akar tongkat pohon mangrove memberi zat makanan dan menjadi daerah
nursery bagi hewan ikan dan invertebrata yang hidup di sekitarnya. Ikan dan
udang yang ditangkap di laut dan daerah terumbu karang sebelum dewasa
memerlukan perlindungan dari predator dan suplai nutrisi yang cukup di daerah
mangrove ini. berbagai jenis hewan dapat berlindung atau singgah bertengger dan
mencari makan di habitat mangrove.”
Budi ambil posisi untuk menjelaskan.
“Selain itu, hutan mengrove juga berperan
dalam pembentukan pulau dan menstabilkan daerah pesisir. Hutan mangrove
seringkali dikatakan pembentuk daratan karena endapan dan tanah yang ditahannya
menumbuhkan perkembangan garis pantai dari waktu ke waktu. Pertumbuhan mangrove
memperluas batas pantai dan memberikan kesempatan bagi tumbuhan terestrial
hidup dan berkembang di wilayah daratan. Sebagai contoh buah vivipar yang
terbawa air akan menetap di dasar yang dangkal dapat berkembang dan menjadi
kumpulan mangrove di habitat yang baru. Dalam kurun waktu yang panjang habitat
yang baru ini dapat meluas menjadi pulau tersendiri.”
“Emang
kerusakan ekosistem laut itu disebabkan oleh apa saja sih?” Tanya Arman.
Budi
membetulkan posisi duduknya dan mulai menjawab.
“Sebagian besar kerusakan ekosistem laut
disebabkan oleh reklamasi, alih fungsi lahan dan pembangunan fisik di garis
pantai, pencemaran serta penangkapan ikan dengan cara destruktif seperti menggunakan
bom, sianida dan pukat dasar. Oleh karena itu perlu adanya pelibatan masyarakat
untuk menekan laju kerusakan ekosistem. Perlu adanya peningkatan ketahanan (resilience)
masyarakat pesisir ataupun komunitas biota ekosistem pesisir dan laut jelas
menjadi salah satu faktor kunci dalam mempertahankan peran lingkungan laut
sebagai sumber ketahanan pangan dan mata pencaharian.[2]”
“Berarti pantai Pangandaran ini sudah
mengaplikasikannya dong?”
“Iya. Pangandaran menggunakan sayap
kekuatan ini, yaitu pelibatan masyarakat untuk menekan laju kerusakan ekosistem
dengan menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai wahana wisata alam yang
bersifat rekreatif dan edukatif. Salah satunya jembatan Cinta yang tadi. Obyek
wisata kebun mangrove ini resmi dibuka pada Desember 2015 lalu dengan harga
tiket yang cukup terjangkau, yaitu Rp5.000,- per orang. Untuk menikmati hutan
mangrove ini, pengunjung juga bisa menggunakan jasa perahu. Bagi pengunjung
yang menggunakan transportasi jalur udara bisa transit di bandara Nusawiru. Di
daerah sana ada sebuah sungai yang bernama Cijulang dan dermaga kapal kecil.
Pengunjung bisa naik perahu dari sana dengan biaya Rp20.000,- per orang. Selama
perjalanan, hutan mangrove sudah terlihat dan akan semakin jelas. Waktu yang
tepat untuk mengunjungi jembatan ini adalah sore hari. Kata orang sih
romantis, bisa lihat sinar matahari yang meneteskan pigmen orangenya ke muka
laut ketika sunset atau matahari terbenam.”
“Ah, jadi baper aku.”
“Ya elah, gitu aja baper. Hahaha...”
“Tapi, ada hal yang mesti kamu tahu Man.”
“Apa?”
“Kita punya tantangan. Indonesia
memiliki mega biodiversity kehidupan laut dan ekosistem pesisir seperti
kawasan coral triangle mencakup 52 persen ekosistem terumbu karang dunia,
ekosistem mangrove sekitar 3,15 juta hektar atau 23 persen dari mangrove dunia
dan 3.30 juta hektar padang lamun (seagrass) yang terluas di dunia. Pada
tanggal 15 Mei 2014 sekitar 350 pakar dari berbagai penjuru dunia berkumpul di
Manado untuk meramaikan acara International Blue Carbon Symposium (IBCS).
Sayangnya dalam 20 tahun ke depan sebagian besar ekosistem penyerap karbon biru
(blue carbon sinks) diperkirakan akan musnah sehingga kemampuan tahunan
untuk mengikat karbon akan menurun.”
“Lantas,
apa yang harus dilakukan?”
“Untuk mempertahankan situasi saat ini
butuh pengurangan emisi sebesar 4-8 % sebelum tahun 2030 atau 10 % sebelum
tahun 2050.[3]
Bertentangan dengan manfaatnya yang maha penting, habitat pesisir tersebut
ironisnya justru mengalami laju kehilangan tajam berskala global. Habitat ini
mengalami degradasi dengan laju kerusakan sekitar 5 sampai 10 kali lipat
dibanding laju kerusakan hutan tropis. Degradasi
ini mungkin disebabkan minimnya ‘kharisma’ habitat tersebut karena letaknya
yang lebih sering berada di bawah permukaan air atau di luar pandangan manusia.
Di mata masyarakat, habitat ini belum mempunyai daya tarik yang sebanding ekosistem
setara dengannya di daratan. Penyebab lain adalah kerusakan habitat bervegetasi
di wilayah pesisir sejak tahun 1940-an. Pencegahan degradasi ekosistem penyerap
karbon hijau dan biru dapat memberi dampak positif berupa pengurangan 1 sampai
2 kali besarnya emisi seluruh transportasi global serta memberi manfaat
tambahana bagi keanekaragaman hayati, ketahanan pangan, mata pencaharian, obyek
wisata, penelitian ilmiah dan sumber daya mineral.”
“Bagaimana cara memulihkan karbon biru?”
“Ada beberapa opsi agar pemulihan
penyerap karbon biru yang krusial ini dapat berjalan. Pertama, memasukkan blue
carbon dalam mekanisme kebijakan iklim berbasis pasar dapat mendatangkan
dana yang signifikan untuk perlindungan dan perbaikan ekosistem pesisir.
Mekanisme pasar yang paling menjanjikan untuk blue carbon di Indonesia
adalah melalui Skema Karbon Nusantara atau suatu upaya mendaftar, memverifikasi
dan memberi sertifikasi penyerapan karbon untuk diperdagangkan yang nantinya
bisa mendapat kompensasi pendanaan. Sebagai gambaran pada pasar perdagangan
karbon sukarela, nilai tukar satu ton karbon bisa bervariasi antara 5 sampai 15
USD. Apabila potensi blue carbon sebesar 138 juta ton setara karbon bisa
diperdagangkan pada pasar karbon, misalnya masuk pada pasar karbon sukarela
dengan kisaran harga 10 USD per ton, maka Indonesia bisa mendapatkan 1,38
milyar USD per tahun. Suatu jumlah yang signifikan untuk masyarakat pesisir
yang bergntung pada sumber daya lautnya. “
“Kedua,
segera melindungi setidaknya 80 % luas padang lamun, rawa payau dan hutan
mangrove melalui pengelolaan yang efektif. Ketiga, memulai latihan pengelolaan sehingga mengurangi ancaman dan
mendukung potensi pemulihan penyerap karbon biru. Ketiga, menjaga ketahanan
pangan dan mata pencaharian berbasisi ekosistem terpadu untuk meningkatkan
ketahanan manusia dan sistem alam terhadap perubahan. Terakhir adalah
mengimplementasikan strategi saling menguntungkan pada sektor berbasis daya laut. Beberapa
langkah semacam ini jelas amat dibutuhkan mengingat dampak yang sudah mulai
terjadi di lingkungan laut akibat proses perubahan iklim termasuk naiknya muka
air laut, pengasaman air laut, peningkatan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrim dan penurunan
sumber daya perikanan.”
“Ingatlah
bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan wilayah yang didominasi lautan
dengan luas ekosistem padang lamun sekitar 3,30 juta hektar dan luas ekosistem
mangrove adalah 3,15 juta. Kemampuan ekosistem padang lamun di Indonesia dapat
menyimpan 16,11 juta ton karbon per tahun dan potensi penyerapan karbon
ekosistem mangrove adalah 122,22 juta ton per tahun. Blue Carbon atau
karbon biru dapat berperan mengurangi emisi karbon sebesar 1139,77 juta ton
karbon per tahun. Angka ini dapat terus bertambah jika lahan-lahan yang kurang
atau tidak efektif penggunaannya seperti lahan tambak yang tidak ditanami
mangrove.[4]”
“Okelah,
aku paham.”
“Jadi,,,
langkah apa yang akan kamu lakukan?”
“Menjaga
kebersihan laut dan turut serta menjaga flora dan fauna yang ada di dalamnya.
Dan satu lagi. Aku akan menanam satu pohon mangrove dan bibit karang sebagai
simbolis kepedulianku pada keasrian laut.”
“Sip,
bagus bro!”
Arman
sudah merekahkan senyumnya. Tak hanya beban pelik yang sirna di wajahnya.
Kesadaran pun tumbuh di benaknya. Saat hati menyaksikan keagungan Tuhan, hati
tidak akan kesulitan untuk sadar akan dirinya sendiri dan lingkungannya. Karena
Tuhan cinta kebersihan, keindahan dan keasrian, maka seharusnya manusia yang
arif juga mengimplementasikannya.
Comments
Post a Comment