Atas Nama Cinta

Setelah melahirkan seorang bayi laki-laki, Turmini merasa tidak enak hati kepada istri pertama suaminya, Ningsih. Berkali-kali Mini melihat Ningsih termenung ketika ia tersenyum ria menimang-nimang bayinya bersama Jaka. Terlihat guratan kebahagiaan di wajah Jaka yang semakin menua setelah sepuluh tahun lamanya hasil perkawinannya dengan Ningsih tidak membuahkan keturunan.
Ningsih menghadap hamparan pesawahan di belakang rumah, membuang laranya dengan memandang bentangan pemandangan asri. Pohon-pohon tua nan rindang berdiri kokoh memagari kompleks pesawahan. Pegunungan bersembunyi di balik pohon-pohon. Pandangan matanya terpaut pada tanaman padi yang menguning dan merunduk. Objek yang ia lihat sama persis dengan keadaan dirinya yang berumur tua dan merunduk tak bahagia seperti padi-padi muda yang bergoyang-goyang tertiup angin. Ia sudah khatam menerjang pahit manis kehidupan. Gejolak cinta telah dirasakannya dari sesosok pria mantan kepala desa yang jangkung dan tampan. Pria itu bernama Jaka. Sudah 10 tahun Ningsih menjadi sandaran hati suaminya. Senang sedih dilalui bersama. Sampai suatu hari ketika warga kampung berbondong-bondong demo ke rumahnya untuk memprotes dan menagih janji perbaikan jalan desa, Jaka dituduh telah memakan dana desa. Untunglah petugas keamanan desa datang pada saat yang tepat dan membubarkan massa. Ningsih semakin erat menggandeng suaminya. Ia ingin menstabilkan emosi suaminya yang berapi. Ningsihpun turun tangan membenahi kasus fitnah ini. Setelah semua proposal pemerintahan disaksikan oleh beberapa warga, aksi demopun berhenti dengan ditangkapnya seorang warga bernama Johan, seorang ketua RW yang memprovokasi demo. Ia seorang musuh Jaka pada pemilihan kepala desa.
Cobaan tak berhenti di situ. Ia resah karena setelah sepuluh tahun menikah, ia belum dikaruniai seorang anak. Ningsih merasa kasihan kepada suaminya. Buah pemenuhan biologisnya tidak menghasilkan keturunan. Ia merasa bersalah kepada suaminya walaupun suaminya sama sekali tak pernah menampakkan wajah cemberutnya, apalagi kata-kata yang menyinggung perasaannya. Sebenarnya bisa saja Jaka bilang, “Di rumah sepi, ya.”. Namun Jaka adalah sosok lelaki setia dan penyayang. Senyum dan pelukan hangat istrinya cukup untuk menyandarkan rasa penatnya setelah seharian kerja di kantor. Di sisi lain, Jaka juga sama seperti suami lainnya di seluruh dunia. Ia ingin punya keturunan. Ningsihpun memberanikan diri untuk bersedia membagi hati suaminya untuk orang lain.
“Mas, jikalau berkenan, Mas nikahi wanita lain.”
Kata-kata itu terucap ikhlas dari mulut seorang istri shaliha bernama Ningsih. Setelah melihat wajah istrinya dalam-dalam, Jaka menegaskan.
“Tapi istriku sayang,...”
“Cukup, Mas. Saya bersedia membantu bayi istri Mas yang baru.”
Keduanya saling merelakan dan saling membuang egonya masing-masing.
Dipilihlah seorang wanita pedagang jamu. Usianya ditaksir mencapai 28 tahun. Tubuhnya tambun dan berbentuk. Kulitnya putih alami dan tampak sehat. Namanya Turmini. Setiap hari ia berjalan kaki mengelilingi desa memanggul sekeranjang jamu di punggunya. Tak terkecuali singgah di rumah bapak Kepala Desa. Hampir setiap hari ia mengonsumsi ramuan alami itu. Tempo hari iapun ditawari Jaka untuk menjadi istrinya. Setalah satu minggu, Turmini sudah sah berpegang tangan dengan Jaka. Karena Jaka seorang kepala desa, Minipun berhenti berjualan jamu dan menemani suaminya di rumah. Beberapa kali ia ikut ke acara-acara penting di desanya.
Tak lama setelah pernikahannya, Turmini membopong seorang bayi laki-laki agak gemuk dan berkulit putih. Pipinya berisi. Sang ayah menilai fisik anaknya sebagai calon pemimpin. Keduanya bersepakat untuk menamainya Guntur.
Ningsih turut bersuka cita. Sesuai janjinya, ia bersedia mengasuh anak istri suaminya. Ningsihpun membopong dan meninabobokan Guntur dengan alunan salawatnya di malam hari. Ketika ia terbangun di pagi hari, ialah yang pertama kali membawanya menuju halaman rumah, menghangatinya dengan sinar ultraviolet matahari. Guntur merengek. Kadang kala jika Mini terlihat sedang sibuk berduaan dengan suaminya, Ningsih menyusuinya.
Jaka menyimpan iba kepada istri pertamanya. Walaupun Ningsih tak menampakkan raut muka kesedihan sama sekali, Jaka tak rela melihat Ningsih terus membopong anak tirinya. Ditambah lagi sudah beberapa hari ini ia tidak bercumbu dengan Ningsih. Di sisi lain ia tak rela meninggalkan istri mudanya yang masih hangat-hangatnya bercinta. Mini masih sangat lengket-lengketnya dengan Jaka. Walaupun gelagat cemburu tak ditampakkan Ningsih, namun ketulusan cinta Ningsih membuat Jaka bisa merasakan apa yang dirasakannya.
Guntur tertidur dalam pelukan Mini. Ningsih sudah terlelap di kamar dekat dapur. Jaka keluar rumah, berdiri tegap, menyimpul tangannya, memandang bentangan langit lengkap dengan gugusan bintangnya. Ia merenung, berkontemplasi, berusaha mencari jalan keadilan untuk menyikapi kedua istrinya.
Malam kian larut. Jaka mulai kedinginan. Ia masuk rumah, membuat teh hangat dan selonjoran di kursi panjang ruang tamu. Sebelum teh itu habis diminum, ia sudah terlelap.
--0—
Pada suatu pagi yang menyimpan kesejukan sinar matahari, Mini menggendong bayinya di halaman rumah.
“Istriku sayang,” Jaka memanggilnya.
“Iya Mas.”
“Bolehkan Mas bicara sebentar.”
“Boleh Mas.”
Jaka mengajak Turmini duduk di kursi.
“Mas kira ini adalah keputusan terbaik untuk kebaikan keluarga kita.”
Mini terdiam menatap suaminya.
“Kiranya kamu rela untuk pergi sementara waktu dari rumah ini bersama anakmu.”
Mini tak kuasa mendengarnya, hatinya tertekan. Namun ia paham maksud suaminya.
“Iya Mas.”
“Nanti setelah aku bisa menggendong adik tiri anakmu, aku undang kamu kembali ke rumah.”
Keesokan harinya Turmini angkat kaki dari rumahnya memangku Guntur dengan penuh kerelaan menjalani titah suaminya walaupun ia sendiri tak tahu ke mana tujuannya. Ia anak tunggal. Orang tuanya sudah tiada semenjak lima tahun terakhir. Bersama itu pula rumahnya tiada karena habis menutup hutang mereka. Untunglah Mini terlahir dengan jiwa dan fisik yang hebat. Semenjak lulus SMP ia mulai berjualan jamu keliling desa. Semenjak SMA, ia sudah tak berorang tua. Hanya hembusan angin yang menemani kesepiannya di gubuk. Berkeliling desa menjumpai pembeli merupakan hal indah pelipur lara di rumah. Dan kini, iapun kembali hidup dalam kesepian.
Masjid adalah tujuan pertamanya ia berteduh. Setelah melaporkan masalah kepada Sang Majikan, ia melanjutkan perjalanan. Sebuah payung meneduhinya di bawah terik matahari yang berapi-api. Di tengah musim kemarau yang melanda, Mini harus berjalan kaki menuju arah yang tak pasti.
Hutan menjadi tujuan selanjutnya. Ia mencari tumbuh-tumbuhan obat untuk dibuatnya jamu. Ia hanya menemukan daun-daun layu dicekik tanah yang retak kekeringan. Pesawahan libur. Minipun gagal menjalankan misinya untuk kembali berjualan jamu. Beberapa hari bahkan minggu ia tak mampu mengais rupiah.
Guntur merengek kehausan. Mini mencari pohon rindang, berteduh di bawahnya dan menyusui Guntur. Kakinya tampak masih kuat setelah beberapa kilometer perjalanan. Sepertinya kalaupun ia harus berjalan lebih jauh lagi, ia akan siap. Namun yang disayangkan adalah bayinya. Ia terlihat lemas dan kecapean. Air susu Mini kehabisan. Guntur merengek lagi. Mini semakin was-was. Ia putuskan untuk mencari sumber air untuk bayinya yang haus. Tapi sangatlah tidak memungkinkan jika bayinya diajak berlari. Dengan terpaksa ia meletakkan bayi itu di bawah pohon. Ia menatap iba anaknya. Kecintaan terhadap anaknya membuatnya ingin selalu berada di sampingnya. Di sisi lain, haus yang menghantam kerongkongannya membuatnya ingin mencari sumber air. Mini tak tinggal diam. Telapak kakinya berlari-lari, matanya menyusuri hutan, hatinya terpaut pada bayi yang ditingggalnya. Hati berharap-harap masih ada sumber air, pohon yang berbuah ataupun menjumpai warga desa. Usahanya tak membuahkan hasil. Bayinya semakin merengek. Kaki mungilnya menghentak-hentakkan tanah yang kering. Mini terus mengitari hutan. Ia jatuh tersungkur kelelahan, lututnya terlipat. Lalu ia mengangkat kedua tangannya menghadap langit dan berkata lirih. Ia memandang lagit dari celah-celah daun yang mengatapi hutan. Daun-daun itu seolah membuka pintu langit dan tak lama kemudian langit menumpahkan air hujan. Mini bersujud dan lekas-lekas menuju bayinya. Ia tersenyum bisa melihat bayinya menelan air langit, setidaknya ada cairan yang masuk ke dalam tubuhnya.

--0--

Comments

Popular posts from this blog

Political Economy of Palestine: Critical, Interdisciplinary, and Decolonial Perspective

Strategi Pemuda dalam Memberantas Hoaks di Era Milenial Inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 9-26

MENANAMKAN PENDIDIKAN PROFETIK PADA MAHASISWA GUNA MEMBENTUK MAHASISWA TELADAN UMMAT (Essay by Fadlan S)