Sepucuk kenangan di Tanah Baduy
Awalnya aku menjumpai sebuah postingan foto di instagram tentang
rekrutmen volunteer Iqropolly goes to Baduy. Aku penasaran, apa itu
Iqropolly. Aku amati pamflet itu. Yang tergambar pertama kali saat mendengar
kata Iqropolly adalah permainan monopoli. Dan benar ternyata Iqropolly terinspirasi
dari permainan monopoli, kemudian didesain supaya lebih mengedukasi, khususnya
pendidikan Islam. Aku tertarik dengan kegiatan sosial ini. Pasalnya bergelut
dengan anak-anak kecil adalah hal yang sudah biasa aku lakukan sejak dulu SMP
ketika mengajar di TPA dekat rumah. Aku pun termotivasi untuk mencari hal-hal
baru yang mungkin bisa diadopsi ketika aku kembali mengajar di TPA.
Aku beranikan diri untuk mendaftar dengan mengirimkan Curiculum Vitae
ke alamat email panitia. Berselang
seminggu, pengumuman 100 besar pun keluar. Panitia mengumumkan bahwa ada 334
pendaftar dari 73 perguruan tinggi yang mengirimkan CV. Alhamdulillah, aku termasuk
di antara mereka yang lolos. Aku mengikuti seleksi tahap selanjutnya, yaitu
wawancara via videocall. Aku tidak terlalu percaya diri jika diajak
ngobrol. Tapi mau tidak mau aku harus menjawab seluruh rangkaian pertanyaan
dengan sepercaya diri mungkin. Dan untungnya pertanyaan yang dilontarkan
panitia sangat cocok dijawab oleh orang yang suka mencari kesibukan seperti
aku. Berselang sekian minggu, pengumuman 30 besar dirilis. Aku ada di
antaranya. Kini seleksi terakhir, yaitu mengirimkan video mengajar. Dalam
jangka waktu sekitar 5 hari, aku sempatkan untuk membuat media penunjang untuk
mengajar berupa beberapa lukisan yang aku tempel di kardus. Properti itu aku
gunakan untuk bercerita, karena aku yakin dengan adanya alat bantu visual,
cerita yang disampaiakan akan lebih
terkesan dan membekas di ingatan mereka. Aku meminta bantuan teman untuk
mem-video-kan aku lalu di hari itu juga dikirimkan videonya secara pure tanpa editan karena aku tidak punya banyak
waktu. Kala itu sedang musim UAS.
Aku bersujud syukur ketika di-SMS panitia secara personal chat bahwa
aku keterima. Dengan penuh rasa syukur kutumpahkan rasa bahagiaku dengan sujud
syukur. Mulai saat itu aku persiapkan diri mencari bahan-bahan untuk mengajar
berupa permainan, lagu-lagu, dan metode belajar yang unik. Tak lupa aku terus
memantau informasi yang masuk di grup WA Volunteer Iqropolly dan melengkapi
persyaratan yang diminta oleh panitia. Seluruh volunteer terpilih harus ke
Bogor pada tanggal 10 Januari 2018 untuk mengikuti serangkaian pelatihan sampai
tanggal 14 Januari 2018 sebelum acara puncak dilaksanakan, yaitu tanggal 15
sampai 27 Januari 2018 di baduy. Tepatnya kampung Cicakal Girang, desa Kanekes,
kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak, provinsi Banten.
Tanggal 10 Januari aku berangkat ke Bogor menuju Institut Pertanian
Bogor. Di kampus inilah founder Iqropolly mengenyam pendidikan. Dia
adalah Agung Suharyana, mahasiswa semester 8 jurusan ekonomi. Karya PKM-nya ini
sudah menembus juara 2 (medali perak) PIMNAS XXIX, diundang seminar di
Malaysia, dan diliput beberapa media seperti, NET TV, TRANS 7, Metro TV. Mahasiswa
asal Kabupaten Kuningan ini pernah menjadi asisten dosen Sosiologi sejak
semester 2. Masih banyak cerita inspiratif yang dimiliki founder Iqropolly
ini yang sejelasnya akan dipaparkan di bagian selanjutnya.
Setibanya di stasiun Bogor aku dijemput oleh salah satu panitia
bernama Muhammad Kholili. Sepanjang perjalanan aku bertanya banyak hal tentang
IPB dan segala yang meliputinya. Sepuluh volunteer yang terpilih dan diundang
ke Bogor ini ditempatkan di pondok Inspirasi. Pondok ini berada di bawah
naungan bank BRI sebagai bentuk CSR (Corporate Social Responsibility)
mereka di bidang pendidikan. Awalnya pondok ini dikhususkan untuk mahasiswa
penerima bidikmisi. Namun baru-baru ini dibuka untuk mahasiswa umum yang
memebuhi syarat seleksi penerimaan.
Pondok ini banyak menyimpan kekaguman bagiku. Di antaranya adalah
nilai religi yang sangat kental diterapkan di tata terbit peraturan yang
berlaku. Memang aku tidak melihat peraturan itu secara tertlulis. Tapi selama
lima hari itu aku berbaur dengan mahasiswa pondok inspirasi dan ikut merasakan
suasana menjadi santri pondok inspirasi. Pukul 3 pagi santri sudah dibangunkan
oleh petugas piket malam. Sebelumnya pukul 11 malam seluruh lampu asrama harus
dalam kondisi padam. Artinya tidak boleh ada santri yang masih melakukan
aktivitas selain beristirahat. Aku sangat kagum. Kampus yang tidak ada
embel-embel Islamnya ini bisa mengaplikasikan nilai-nilai Islam. Di antaranya
adalah sabda Rasulullah yang menyuruh ummatnya untuk bersegera tidur dan
bersegera bangun pagi.
Kemudian di setiap hari Senin dan Kamis seluruh santri dibiasakan
untuk berpuasa sunnah sehingga seolah menjadi wajib bagi mereka. Dan ketika
maghrib menjelang, mereka berbuka puasa bersama. Sungguh nuansa kehidupan yang
aku rindukan dan sebenarnya ingin aku adopsi di lingkungan kampusku.
Malam pertama diadakan pertemuan perdana sekaligus welcoming
party dari panitia di pondok Impian (sejenis pondok Inspirasi namun
ditujukan untuk anak jalanan. Masih di bawah naungan bank BRI). Acara itu
berisi perkenalan kesepuluh volunteer beserta tim panitia Iqropolly. Sebagian
besar para volunteer sudah hadir malam itu. Mereka adalah Zatta Yumni dari
Universitas Syiah Kuala Aceh, Khuzaimah dari Universitas Negeri Medan,
Rahmadini Payla Juara dari Institut Petanian Bogor, Siti Pangestutik dari
Universitas Negeri Semarang, Sandri Nur Anisa dari Institut Pertanian Bogor,
Emy Hamayani dari Institu Ilmu Qur’an, Iqmi Qaisah Ali dari Universitas Brawijaya,
Ghania Ahsani Ramadani dari Institut Pertanian Bogor, aku, Fadlan Ash-shidiq
dari IAIN Salatiga, dan yang terakhir ada Praditya Fajar dari Institut
Pertanian Bogor. Setelah itu dilanjut dengan pengenalan panitia Iqropolly.
Agung Suharyana adalah founder Iqropolly
sekaligus ketua pelaksana, Rosyid Amrullah, Cahyo, Syukron Makmun, Sanhaji,
Muhammad Kholili, Sofa, Uning Sari, dan My Diah dari jajaran panitia. Kesemua
tim panitia adalah mahasiswa IPB yang tinggal di pondok inspirasi. Kemudian Kak
Agung mengumumkan agenda pelatihan yang akan dilaksanakan di Tapos, daerah
puncak Bogor selama 3 hari 2 malam. Acara ditutup dengan makan malam.
Keesokan harinya masih dalam rangkaian perkenalan yaitu field
trip dan jogging keliling kampus Institut Pertanian Bogor. Perjalanan
mengitari kampus yang luas ini seakan tidak terasa capek karena sepanjang
perjalanan selalu diisi dengan perbincangan. Saat terkesan yang tak boleh
ditinggalkan adalah ketika sampai di tugu koin. Di sanalah para mahasiswa IPB
yang akan wisuda berfoto. Para volunteer yang datang dari berbagai daerah pun
tidak ingin melewatkannya.
Masih pukul 9 pagi di hari Kamis. Kak Agung menginstruksikan untuk
kegiatan bebas yaitu sarapan pagi dan persiapan untuk berangkat ke puncak nanti
malam. Setelah sarapan, sebagian volunteer pergi ke pasar mencari perlengkapan
yang dibutuhkan seperti payung dan tumbler.
Acara hari itu cukup untuk mengenalkan suasana Kota Bogor. Tiba
saatnya ke acara inti yaitu pelatihan Program Masterpiece dan strategi
pemberdayaan komunitas adat terpencil bersama Badan Amil Zakat Nasional. Tim
Iqropolly goes to Baduy berangkat ke puncak pada malam hari pukul 8 dan
sampai di lokasi pada pukul 11 malam. Para volunteer yang masih asing dengan
lokasi ini cukup terkejut karena HP sudah tak berfungsi lagi kecuali hanya
untuk kamera. Alias di sini tidak ada sinyal.
Sebelum beristirahat, kami minum-minum dan makan-makan terlebih
dahulu menikmati suasana alam asri dengan perbincangan hangat di antara kita. Gemercik
air sungai bergelut dengan dingin yang menusuk kulit mengiringi malam yang
syahdu. Dan secangkir kopi atau teh sebagai penawarnya. Setidaknya setetes
kehangatan merasuki tubuhku. Tim Iqropolly pun berlabuh di pulau kapuk dengan
berusaha mencari kenyamanan karena harus bergelut dengan dinginnya malam.
Keesokan harinya, di Jumat pagi yang cerah, diisi dengan kegiatan
oleh raga pagi berupa senam dan dilanjut bermain basket. Aku terlihat seperti
orang yang paling handal di antara mereka karena memang volunteer dan panitia ikhwan
yang bisa hadir dan ikut berolahraga di hari itu hanya aku dan ketua pelaksana.
Selebihnya adalah volunteer akhwat.
Matahari beranjak merangkak lebih tinggi sehingga menjatuhkan
bayangan tubuh ketika aku berdiri di tepian sawah memandang bentangan alam yang
tampak terlihat megah dilihat dari sini. Tim Iqropolly sarapan terlebih dahulu
sebelum melanjutkan ke acara berikutnya yaitu pengenalan Iqropolly berikut cara
memainkannya. Aku membantu Kak Agung menyiapkan seluruh properti di aula,
memasang banner dan karpet. Acara pengenalan Iqropolly pun dimulai pada pukul 9
pagi. Kak Agung membuka acara kemudian dilanjut dengan memperinci asal-usul
kehadiran Iqropolly. Ia menyebutkan bahwa Iqropolly lahir dari ruang
inspirasinya melihat permainan monopoli kemudian didesain sedemikian rupa
sehingga lebih mengedukasi dan tidak hanya bermain yang didapat, melainkan juga
belajar. Jika kolom-kolom dalam monopoli diisi dengan nama-nama negara, dana
umum, kesempatan, dan penjara, maka Iqropolly yang terdiri dari 23 kolom ini
berisikan tema-tema pembelajaran Islami meliputi rukun Islam, rukun Iman,
syahadat, nabi dan rasul, malaikat, pergaulan Islami, lagu Islami, do’a-do’a
sehari-hari, pahala, dan rintangan. Permainan ini diikuti oleh maksimal 4 orang
dengan puzzle sebagai indikator untuk menentukan siapa pemenangnya. Puzzle ini
terdiri dari 9 potongan di mana 1 potongnya dihasilkan ketika pemain
mendapatkan point 5. Point-point ini didapat ketika pemain bisa menjawab
pertanyaan yang ada di kolom tersebut.
Setalah panjang lebar menjelaskan, rasanya tidak afdhol jika
para volunteer tidak turun langsung memainkan boardgame Islami ini. Para
volunteer pun membentuk lingkaran dan mulai mempraktikkannya secara langsung.
Salah seorang di antaranya bertindak sebagai juri yang membacakan soal-soal
kepada para pemain.
Di penghujung acara, Kak agung memberikan tugas kepada para
volunteer untuk menampilkan sebuah cerita sejarah nabi menggunakan media boneka
yang tersedia di seperangkat permainan Iqropolly. Waktu dzuhur menjelang, acara
pun diakhiri. Aku, Kak Agung, dan Kak Cahyo pergi ke masjid bersama pak Barta
dengan mobilnya. Jarak masjid cukup jauh, berada di ketinggian yang dapat
ditempuh dekitar 10 menit perjalanan melewati hutan yang dilindungi oleh
pemerintah.
Sehabis dzuhur, isterinya Pak Barta, pemilik villa di titik
terendah puncak Bogor ini telah menyiapkan menu makan siang. Beliau dan
isterinya adalah seorang dermawan alumni IPB yang suka menawarkan villa
mewahnya ini untuk digunakan agenda-agenda kampus IPB secara sukarela, alias
gratis. Padahal jika wisatawan ingin menyewa villa ini harus merogoh kocek 5
juta per malam. Sunggah betapa dermawannya beliau ini.
Acara dilanjutkan pada pukul setengah 2. Para volunteer mau tidak
mau harus menampilkan teknik mengajar dalam bentuk cerita dengan waktu singkat
yang diberikan panitia. Satu per satu maju menampilkan kebolehannya dan panitia
merekamnya dalam bentuk video. Di penghujung acara, panitia membuat forum
diskusi dan komentar di mana seluruh volunteer diberi pengarahan dan masukan
atas apa yang telah ditampilkan.
Kak Agung memberikan free time setelah ashar hingga
menjelang maghrib. Para volunteer pun memanfaatkannya dengan hunting foto
di sekitar villa yang cukup luas ini dan bermanjaan dengan deburan air sungai.
Sebagian lainnya memasak mie dan kopi. Termasuk aku. Acara hari itu cukup
menguras tenaga dan membuatku lelah. Namun kesejukan villa ini menjadi
penawarnya.
Di rundown yang telah dibuat panitia, sehabis isya akan diadakan sharing-sharing
dengan Pak Barta. Beliau adalah orang hebat, pintar, dan kaya yang pengalaman
yang sangat disayangkan jika tidak kita petik ilmunya. Namun malam itu Pak
Barta terlihat sedang sibuk dan tidak mungkin waktunya diganggu. Di sisi lain
kak Agung terlihat sedang sakit dan berbaring di villa. Setelah aku cek, kak
Agung demam. Tidak hanya kak Agung, kak Cahyo pun juga merasakan sakit dan
mual-mual. Pak Barta dan isterinya pun menghampiri tim Iqropolly dengan sepanci
bubur kacang ijo yang masih hangat. Malam yang seharusnya digunakan untuk
agenda kegiatan itu berubah menjadi agenda kumpul-kumpul dan perbincangan
renyah. Seperti biasa, bergelut dengan dingin.
Malam masih panjang sehingga sayang jika aktivitas harus berhenti
begitu saja. Kondisi kak Agung juga sudah membaik. Setelah makan malam di aula,
kak Agung berinisiatif untuk mengadakan agenda talkshow interaktif
antara para peserta volunteer. Satu per satu para volunteer diinterogasi oleh
volunteer lain sehingga satu sama lain saling mengenal seluk beluk
masing-masing. Malam itu sangat senang sekali aku rasakan karena bisa berkumpul
dengan orang-orang hebat yang mempunyai segudang pengalaman yang membuatku
terpacu untuk melakukan hal yang sama. Termasuk founder Iqropolly yang
rekam jejaknya sangat menginspirasi banyak orang, khususnya mereka yang
berkarakter introvert sejak kecil seperti aku. Kak Agung hobi bermain
piano sejak kecil. Kelihaiannya bermain piano ini membuat prestasi di bidang
musiknya melonjak. Ia telah 6 kali menjuarai festival band semasa SMA-nya.
Di samping hobi bermain piano, ia juga sangat produktif dalam
menulis, terutama esai dan karya tulis. Ia seringkali mengikuti perlombaan esai
tingkat nasional dan hingga saat ini tercatat ia sudah menjuarai 5 perlombaan
esai dan karya tulis serta 3 PKM yang lolos dan didanai pemerintah. Dengan
prestasinya ini, ia sering diundang oleh kampus untuk mengikuti acara-acara
konferensi dan simposium internasioanal. Lambat laun ia semakin pandai
berbicara di depan umum sehingga aku tidak menyangka jika kak Agung dulunya
seorang introvert.
Malam semakin kelam. Perbincangan hangat itu pun diakhiri ketika
para mahasiswa pondok inspirasi putra dan putri telah tiba di villa ini untuk
ikut serta dalam acara pelatihan Program Masterpiece dan strategi pemberdayaan
komunitas adat terpencil bersama Badan Amil Zakat Nasional esok hari. Sebelum beristirahat,
acara dilanjutkan dengan perkenalan singkat antar para volunteer dengan
mahasiswa pondok inspirasi (pondasi).
Keesokan harinya pelatihan Program Masterpiece dan strategi
pemberdayaan pun digelar. Aku bertindak sebagai Qori di acara pembukaan.
Kemudian acara inti dimulai. Bu Sri Nurhidayah, seorang alumnus UI sekaligus
guru di berbagai kampus dan sekolah ini mengisi pelatihan program masterpiece.
Seluruh peserta yang terdiri dari tim Iqropolly dan mahasiswa pondasi ini
sangat antusias memperhatikannya. Bu Sri menjelaskan bahwa untuk membuat suatu
program berkelanjutan (masterpiece) maka harus tuntas menyelesaikan 4
hal, yaitu mengubah paradigma masyarakat, maslahat beyond, mendorong gerakan
masyarakat, dan kemandirian dalam artian program itu menjadi sebuah organisasi.
Para peserta pun dibentuk 5 kelompok untuk mendiskusikan dan merancang
Iqropolly menjadi sebuah program masterpiece. Di penghujung acara,
perwakilan kelompok maju mempresentasikan hasil diskusinya dan memaparkan
program-program rancangannya. Bu Sri menanggapinya dengan bangga dan
mengapresiasinya dengan baik. Bahkan beliau tidak menyangka jika pemikiran para
peserta melampaui apa yang ada dalam pikirannya.
Acara itu berakhir seiring waktu zmenjelang. Sholat berjamaah didirikan,
dilanjut makan siang.
Pukul 2 siang, forum resmi kembali digelar. Pak Farid Septian,
kepala divisi dakwah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) membawakan materi
terkait strategi pemberdayaan komunitas adat terpencil. Beliau sangat ahli di
bidangnya dan paham seluk-beluk cara untuk berdakwah. Beliau memaparkan fiqih
dakwah yang beliau rangkum menjadi 10 point, yaitu : Memberikan keteladanan
sebelum berdakwah, mengikat hati sebelum menjelaskan, mengenalkan sebelum
memberi beban, mengajar secara bertahap, memudahkan bukan mempersulit, memulai
dari yang pokok sebelum cabang, memberi kabar gembira sebelum ancaman,
memahamkan bukan mendikte, mendidik bukan menelanjangi, dan berpikir bahwa
muridnya adalah guru bukan muridnya adalah guru.
Terkait dengan materi program masterpiece yang disampaikan
oleh bu Sri, pak Farid menghubungkan materinya itu dengan memaparkan pentingnya
Iqropolly dipromosikan sebagai media dakwah. Program ini merupakan bagian dari
syarat kekuatan seorang Muslim yang terdiri dari 4 hal, yaitu : bangga dengan
Islam, berjamaah untuk kebaikan, pandai memilik pemimpin, dan mengamalkan Islam
secara kaffah. Beliau mengutip pandangan itu dari seorang syekh bernama
Yusuf Qardhowi. Di akhir pembahasan, ada statement penting yang aku
tangkap, yaitu : jangan menjadikan Iqropolly sebagai alat untuk membesarkan nama
kita karena itu bukan esensi dari dakwah Islam. Ini terkait dengan meluruskan
hati dan niat supaya tujuan dakwah kita murni karena Allah. Point kedua yang
aku dapat adalah jangan menciptakan image di benak kita bahwa masyarakat Baduy
itu membutuhkan kita. Tetapi terbalik, yaitu kita membutuhkan mereka. Kemudian
tidak disarankan memandang mereka orang yang terbelakang, karena di balik itu
mereka punya kekuatan dan sikap pola hidup yang perlu diterapkan oleh masyarakat
perkotaan. Sikap itu adalah cinta alam dan keasrian yang sudah luntur di
masyarakat perkotaan. Jadi image yang tepat yang harus dicamkan adalah berguru
kepada Baduy supaya jiwa tawadhu bersarang di hati para volunteer.
Kedua acara yang dibawakan kedua pemateri hebat itu mengakhiri
rangkaian acara di villa ini. Sore itu, tepatnya pukul 5, tim Iqropolly dan
sejumlah mahasiswa pondasi berpamitan kepada Pak Barta dan isterinya. Aku
sangat berterima kasih terhadap beliau dan menyampaikan sepenggal do’a untuk
kesehatan beliau dan penuh harap beliau juga bisa menyambangi rumahku di
Ciamis.
Tim Iqropolly tiba di asrama pondasi dengan membawa tubuh yang
lelah. Mereka tiba pukul 10 malam dan lanjut makan malam kemudian beristirahat.
Keesokan harinya, pada jam makan pagi, Kak Agung menginstruksikan
kepada tim untuk mempersiapkan keberangkatan menuju Baduy pada Senin dini hari
pukul 00:00 tanggal 15 Januari 2018. Kak Agung mengingatkan para volunteer
untuk senantiasa menjaga kesehatan mereka dan segera lapor jika merasakan sakit
supaya cepat diatasi. Siang hari itu digunakan mereka untuk berkemas dan
menyiapkan peralatan yang perlu dibawa ke medan dakwah.
Sebelum pukul 00:00, bis Rudi sudah tiba di sekitar kampus.
Barang-barang berupa tas-tas carrier dan perlengkapan lainnya dinaikkan
ke dalam bus terlebih dahulu. Kemudian tim menempatkan diri di kursi bus.
Setelah berdo’a (do’a berkendaraan sekaligus mau tidur), bus itu diberangkatkan
menuju tempat tujuan.
Tim Iqropolly tiba di Desa Ciboleger, Baduy pada pukul setengah 5
tepat ketika adzan subuh berkumandang. Kami pun sholat berjamaah di masjid
sekitar.
Pagi hari, kami rehat sejenak di sebuah warung makan untuk sekedar
menyimpan barang-barang dan santap sarapan. Setelah hari cukup terang,
perjalanan berskala perjuangan menuju Baduy pun dimulai. Jalan terjang sejauh 8
km yang terdiri dari turunan curam dan tanjakan tajam itu dilalui dengan penuh
perjuangan karena membawa beban berat di punggung mereka, yaitu tas carrier dan
beberapa peralatan lainnya. Seringkali berhenti dan beristirahat sejenak di
beberapa kampung.
Pasukan pejuang mardhotillah ini sampai di lokasi dakwah,
yaitu kampung Cicakal girang dengan membawa tubuh sempoyongan, kaki kaku, dan
mata kantuk. Mereka tak kuat menahan lapar, capek, dan kantuk yang bercampur
aduk. Tim Iqropolly transit di rumahnya bu Ai Dewi, seorang aktivis dakwah yang
akan memantau kegiatan tim Iqropolly di kampung ini. Bu Ai menyambutnya dengan
ramah dan mempersilahkannya masuk. Waktu dzuhur tinggal beberapa menit lagi.
Makan siang sudah bu Ai sajikan di ruang tamu. Tim Iqropoly pun melaksanakan
sholat dzuhur berjamaah terlebih dahulu, kemudian kembali ke rumahnya bu Ai
untuk makan siang. Karena bercampur rasa lelah, siang itu juga mereka
beristirahat di basecamp masing-masing. Ikhwan di rumahnya Pak Jari,
sementara Akhwat di rumahnya pak RT.
Kala adzan ashar berkumandang, mereka menyempatkan diri pergi ke
masjid untuk menunaikan sholat asar berjamaah. Tidak ada keramaian di masjid
ini ketika waktu ashar menjelang. Tak seorang pun warga yang hendak ke masjid. Akupun
bertindak sebagai muadzin. Setelah sholat berjamaah, tim Iqropolly berkumpul
sejenak untuk melaksanakan briefing.
Mereka kembali ke basecamp untuk keperluan MCK dan persiapan
sholat maghrib dilanjut tadarus dan makan malam di rumahnya bu Ai. Malam itu
Kak Agung membuka acara pembukaan secara formal. Kak Sanhaji bertindak sebagai
MC, sementara aku sebagai Qori. Setelah menyampaikan kata-kata sambutan, kak
Agung mempersilahkan waktu yang leluasa kepada bu Ai untuk memberikan arahan
dan pengenalan terhadap kondisi Baduy.
Acara berlangsung interaktif. Para volunteer dan panitia saling
bersahutan melontarkan pertanyaan. Semakin banyak pertanyaan yang dilontarkan,
semakin panjang cerita yang dipaparkan bu Ai. Akupun menangkap cerita atas apa
yang disampaikan beliau tentang Baduy dan kisah perjuangan beliau berdakwah di
sini.
Kampung Cicakal girang adalah satu-satunya kampung yang beraga
Islam di antara 63 kampung Baduy lainnya. Islamnya kampung ini sudah sejak
zaman dahulu, tepatnya zaman Sultan Hasanuddin (utusan dari Kerajaan
Islam-Cirebon) ketika berdakwah di kampung ini. Perjuangan dakwah terus
berlanjut dari tangan Sultan Hasanuddin menuju para da’i pendatang yang
bermukim di Cicakal Girang. Salah satunya adalah Bu Ai Dewi. Beliau memulai
perjuangan dakwahnya di Cicakal Girang sejak tahun 1992. Beliau mengembara dari
Cianjur, kota kelahirannya bersama sang suami yang bernama Ahmad Hidayat.
Awalnya ia menemukan sebuah berita di tabloid Islami bahwa Kementerian Agama
membuka rekrutmen relawan agama Islam untuk ditempatkan di Baduy. Saat itu
beliau belum bersuami dan masih mengenyam pendidikan di salah satu pondok
pesantren di Jawa Timur. Sedangkan berita pencarian relawan di tabloid itu
mensyaratkan calon relawan harus berstatus sudah menikah supaya ketika
berdakwah nanti ada yang membantunya. Beliau ingin sekali berjuang menjadi
relawan dan menyemai ilmunya di tempat terpencil itu. Panggilan wahyu Tuhan
untuk berdakwah sangat melekat di hatinya. Mau tidak mau beliau harus menikah
terlebih dahulu. Akhirnya ia dijodohkan kepada seorang ustadz berusia 30 tahun
bernama Ahmad Hidayat. Kala itu Bu Ai berusia 20 tahun. Pernikahan itu berjalan
dengan cepat dan tanpa butuh waktu yang lama untuk mengikatkan jalinan kuat
pernikahan (mitsaqon ghalidzon). Tidak lebih dari 2 minggu masa
perkenalan, janji suci pernikahanpun dijatuhkan dengan sedikit mengundang tawa
di awal pendaftaran kepada KUA. Karena terburu-buru ingin nikah, Pak Ahmad lupa
menanyakan siapa nama calon isterinya itu. Pak Ahmad hanya siap dengan niat
yang kuat untuk menikah. Setelah sah bersuami isteri, akhirnya bu Dewi
didampingi suaminya pergi berjuang di Baduy melewati jalan terjal yang cukup
rawan.
Beliau memulai dakwahnya dengan mendirikan dua madrasah, yaitu MI
Masyarikul Huda dan MTs Alam Wiwitan. Dengan adanya dua madrasah ini, anak-anak
dapat mengenyam pendidikan, melek huruf, dan berpendidikan. Ini merupakan
sebuah peningkatan karena sebagian besar orang tua mereka tidak berpendidikan
dan hanya lihai di dunia pertanian dan pengolahan kekayaan alam. Ketersediaan
fasilitas pendidikan ini masih terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan
beberapa faktor seperti akses jalan menuju kota, bangunan yang kurang memadai,
dan keterbatasan SDM guru.
Setelah sekian tahun berdakwah di Cicakal Girang, beliau
menganalisa berbagai kerusakan yang merongrong moral, agama, pendidikan dan
ekonomi masyarakat. Di bidang moral, beliau mendapati banyaknya alat-alat
canggih dari luar daerah seperti HP dan internet sehingga membuka jalan untuk
mengetahui dunia luar secara berlebihan. Salah satunya adalah munculnya hal-hal
berkonten pornografi di HP anak-anak. Seringkali Bu Ai menyita HP para siswa
dan membantingnya saat itu juga ketika ketahuan isi HP-nya adalah porno. Hal
ini jelas merupakan kemerosotan moral anak kampung. Penyebab terjadinya hal ini
adalah transmigrasi para pemuda ke kota untuk bekerja dan kembali ke kampung
dengan membawa seperangkat hal-hal yang didapatkannya di kota, termasuk ponsel
pintar.
Di bidang agama, beliau memperhatikan lemahnya semangat masyarakat
untuk pergi ke masjid ketika adzan shalat lima waktu berkumandang. Bahkan Pak
Ahmad menuturkan setiap shalat subuh tidak pernah ada masyarakat yang berangkat
ke masjid. Setiap hari hanya Pak Ahmad dan anaknya yang sholat di masjid. Pak
Ahmad mengungkapkan bahwa paradigma masyarakat akan sholat subuh itu dianggap
boleh dilakukan di pagi hari. Masyarakat pun terbiasa bangun jam 5 atau
setengah 6 dan baru sholat pada jam itu.
Permasalahan di bidang ekonomi sekaligus pendidikan moral yang
diresahkan oleh Bu Ai adalah masuknya para calo kerja illegal dari luar daerah
yang merekrut anak-anak di bawah umur dengan diiming-imingi gaji yang
menjanjikan. Dan anehnya kedatangan calo ini tidak pernah diketahui oleh bu Ai.
Jadi para calo ini hanya melancarkan aksinya ketika bu Ai sedang pulang kampung
ataupun bepergian ke luar daerah. Bu Ai hanya tahu ketika ia kembali ke desa
dan melihat anak-anak remaja berubah penampilan seperti rambut diberi warna dan
beranting.
Bu Ai tidak hanya berdakwah di kampung Baduy luar saja, melainkan
seluruh pelosok Desa Kanekes meliputi Baduy dalam yang kental dengan adat[1].
Beliau seringakali menyelinap masuk ke wilayah Baduy dalam dan mendirikan gubuk
untuk mengajarkan agama kepada anak-anak Baduy dalam yang notabene adat
melarang mereka untuk mengenyam pendidikan. Namun setelah diteliti, Bu Ai
melihat gelagat semangat dari mereka untuk belajar. Tak jarang anak Baduy dalam
pergi ke rumahnya Bu Ai untuk belajar. Namun sepulangnya di rumah, mereka
ditampar oleh ayahnya karena ketahuan belajar di rumahnya bu Ai.
Setelah tindakan penyelundupan ini diketahui warga Baduy dalam,
gubuk itu pun dihancurkan dan bu Ai diberi peringatan oleh pu’un untuk
tidak mengulanginya lagi. Bu Ai pun mengiyakan hanya untuk sebuah formalitas
belaka. Namun gejolak dakwah di dadanya tidak pernah padam.
Peringatan dari pu’un tidak datang sekali dua kali. Pada suatu hari
bu Ai memberanikan diri mendatangi pu’un Baduy secara langsung dan mulai
berdebat. Teknik dakwah semacam ini dianggap paling muktahir di mana jika ketua
adat sudah masuk Islam, maka secara otomatis seluruh warganya pun akan masuk
Islam. Bu Ai berdebat tentang pengetahuan Islam secara detail dan mengajak pu’un
untuk masuk Islam. Namun pu’un menolak untuk masuk Islam dan malah membalikan
suatu fakta. Jang naon asup Islam. Orang Islam na ge loba keneh nu tara
sholat. Sok we urus heula ku sorangan. [2]
Bu Ai memang mengakui hal itu. Pasalnya warga Baduy sering melihat orang
Islam yang berkunjung ke daerahnya untuk tujuan wisata budaya sering
meninggalkan sholat. Orang Baduy pun tahu waktu sholat walaupun mereka bukan
beragama Islam.
Sukarnya berdakwah di Baduy salah satunya disebabkan oleh faktor
historis di mana dahulu pada zaman Islamisasi Kerajaan Hindu-Banten oleh
Fatahillah, mereka pergi mengasingkan diri ke suatu tempat yang jauh dari
jangkauan masyarakat kota. Tempat itu sekarang adalah wilayah mereka saat ini.
Jadi sebenarnya orang Baduy tahu apa itu Islam dan tahu caranya bagaimana masuk
Islam. Mereka pun menganggap bahwa agama dalam pandangan mereka hanya dua,
yaitu Islam dan Sunda Wiwitan. Mereka menganggap orang Islam sebagai saudara
mereka.
Begitulah sekelumit cerita yang aku dapat dari sosok sonder
women Cicakal girang. Setelah mengetahui medan dakwah yang disampaikan bu
Ai, tim Iqropolly semakin tahu bagaimana cara berdakwah di daerah ini. Pada
malam itu pula terjadi kesepakatan dan berbagai persetujuan antara program
Iqropolly 2 pekan mendatang dengan kegiatan belajar mengajar di MI Masyarikul
Huda dan MTs Alam Wiwitan. Bu Ai menyerahkan sepenuhnya segala bentuk materi
pembelajaran kepada tim. Jam mengajar yang diberikan bu Ai kepada volunteer
Iqropolly dimulai pukul 07.30 sampai 11.30. Adapun di MTs dimulai pukul 10.00
sampai 11.30. Bangunan MI terdiri dari 3 kelas. Setiap kelas diisi oleh 2
tingkat sekaligus. Satu dengan dua, tiga dengan empat, dan lima dengan enam.
Sementara banguan MTs terdiri dari 2 ruang kelas. Kelas 7 ditempatkan secara
terpisah, sedangkan kelas 8 digabung dengan kelas 9. Total kelas yang diampu
tim volunteer adalah 5 kelas. Total volunteer ada 10. Per kelas dipegang oleh 2
volunteer dan dibantu seorang panitia. Bu Ai juga menyetujui kegiatan permainan
boargame Iqropolly yang dilaksanakan setiap sore hari di gedung MI.
Kemudian di malam hari setelah isya, tim Iqropolly memberikan waktunya untuk
adik-adik yang ingin belajar. Adapun tempatnya berlokasi di rumah pak RT.
Malam semakin larut. Pertemuan perdana ini ditutup pada pukul 11
malam dengan do’a kafaratul majlis. Tim Iqropolly kembali ke basecamp
masing-masing.
Dini hari, sekitar pukul setengah 4, tim Iqropolly sudah terbangun
untuk melaksanakan sholat malam. Ikhwan di masjid, sementara akhwat di basecamp.
Sebelum waktu subuh tiba, salah satu dari ikhwan melantunkan ayat suci Qur’an
menggunakan pengeras suara berharap masyarakat setempat ada yang terbangun dan
pergi ke masjid. Setelah adzan berkumandang, akhwat menyusul pergi ke masjid.
Sebagaimana kegiatan ritunitas di pondasi, ba’da subuh selalu membaca
al-ma’tsurat berjamaah. Setelah tadarus mereka kembali ke basecamp untuk
MCK, lalu berangkat ke rumah bu Ai untuk sarapan. Sebelum pergi mengajar, Kak
Agung memberikan sedikit pengarahan. Kemudian pasukan da’i-da’iah berseragam
hijau ini siap diberangkatkan menuju Mi untuk mengajar.
Di hari pertama, tim Iqropolly masuk kelas untuk memperkenalkan
diri dan menyapa adik-adik dengan berbagai permainan dan tepukan tangan. Di
hari pertama itu mereka berusaha untuk menciptakan yang terbaik supaya ke
depannya acara berjalan dengan baik. Kak Umi dan Kak Apri, selaku panitia yang
bertugas membuat questioner penelitian membagikan seberkas kertas questioner
kepada para volunteer. Kemudian 40 responden yang terdiri dari kelas 3, 4 dan 5
dipanggil untuk menemui volunteernya masing-masing untuk diwawancarai. Setiap
volunteer memegang 4 responden.
Pukul 11, para siswa dibubarkan. Panitia berkumpul di masjid -yang
bersebelahan langsung dengan MI- untuk briefing dan mengumpulkan dokumen
pretest. Kak Agung membuka briefing untuk membahas projek penelitian
yang akan dibuatkan paper di akhir acara. Para volunteer menanyakan
bagian-bagian yang kurang dimengerti dari pertanyaan yang ada di list
questioner. Di penghujung briefing, Mbak Tutik melontarkan sebuah
usulan, yaitu mengadakan program khataman Al-Qur’an. Setiap malam ikhwan membaca
2 juz, akhwat 2 juz sehingga di penghujung acara mencapai khatam Qur’an. Adapun
pembacaan ayat suci Al-Qur’annya dilaksanakan ba’da maghrib. Semua menerima
usulan itu. Kemudian Kak Ghania mengusulkan untuk membuat materi pelajaran yang
baku supaya kegiatan mengajar tidak mengambang. Usulan itu direspon positif
oleh seluruh volunteer dan Mbak Tutik bersedia untuk mendesain kurikulum
harian.
Satu per satu volunteer menguap, menahan kantuk yang menyerang. Ya,
semuanya kelelahan. Satu jam sebelum waktu asar, briefing diakhiri.
Sehabis asar, para volunteer kembali melaksanakan misi mulianya,
mengajar anak-anak di masjid dengan media Iqropolly. Adek-adek pun menyambutnya
dengan antusias ditandai dengan meluapnya jumlah sasaran pemain. Dari jumlah 4
responden sasaran penelitian, yang hadir malah lebih dari itu. Alhasil yang
lainnya bermain sebagai pendukung. Namun volunteer menyiasatinya dengan
mengajak mereka ikut menjawab pertanyaan. Adik-adik bermain dengan semangat
karena berusaha mengejar misi melengkapi puzzle hingga tersusun
sempurna. Yang paling mereka senangi adalah ketika menginjak kotak rezeki di
mana ia mendapat dua potong puzzle sekaligus tanpa pertanyaan yang harus
ia jawab. Titik kedua yang mereka senangi adalah ketika aku bercerita
menggunakan media boneka Iqro dan Polly. Mereka mengikuti alunan cerita nabi
dan para sahabat dengan baik yang ditandai dengan kontak sepasang mata mereka
yang tertuju pada boneka.
Ketika salah seorang adik bisa menyusun puzzle secara
sempurna, permainan Iqropolly berakhir. Satu per satu para volunteer
membubarkan pembelajaran di sore hari lalu meninggalkan masjid, kembali ke basecamp
untuk persiapan sholat maghrib berjamaah.
Satu hal yang mengesankan selama berlangsungnya acara adalah
mengantre dan berebut kamar mandi sampai setiap pagi atau sore hari ada di
antara kita yang tidak mandi. Di basecamp akhwat malah dibuat kelompok
mandi pagi dan kelompok mandi sore. Sedikit menyengsarakan namun di sisi lain
juga mengesankan.
Setelah sholat maghrib berjamaah, ikhwan tadarus di masjib. Salah
seorang menggunakan pengeras suara. Sementara akhwat mengaji di basecamp.
Setelah target 2 juz tercapai, mereka pergi ke rumah bu Ai untuk makan malam.
Kemudian kembali ke masjid untuk sholat isya dilanjut belajar bersama adik-adik
sampai pukul 9 malam. Sebelum diakhiri, seperti biasa selalu diadakan briefing
dan evaluasi harian guna menyongsong esok yang lebih baik.
Di setiap pagi yang cerah, walaupun seringkali diiringi rintik
hujan ringan dan jalan bebatuan yang super licin, mereka tetap semangat.
Betapapun jalan itu becek dan hujan mengguyur, mereka usahakan untuk pergi ke
rumahnya bu Ai demi menikmati hidangan lezat asinan ikan dan sambal bu Ai yang
khas. Jeritan perut yang keroncongan itu terobati dengan hidangan di pagi hari
diiringi obrolan seru yang didalangi oleh Kak Uning. Obrolan seputar remaja itu
selalu ia buka dengan renyah. Suasana makan pun terasa cepat sekali. Sebelum
pergi beraktivitas seperti biasa, Kak Agung membuka briefing. Mbak Siti
Pangestutik (Tuti), volunteer asal UNNES bertindak sebagai pengatur materi
(kurikulum pembelajaran). Setiap hari ia membuat satu tema dengan beberapa
kompetensi dasar. Selebihnya diserahkan kepada kreativitas volunteer.
Pada prinsipnya mengajar di sekolah dasar tidak mengejar dan
menuntut siswa untuk bisa. Langkah pertama yang ingin diraih, khususnya oleh
aku sendiri, yaitu menumbuhkan rasa suka dan senang ketika belajar. Oleh karena
itu aku selalu membuat penyampaian materi pembelajaran dikemas dengan
menggunakan cerita dan permainan. Dengan bercerita, si anak akan mampu
berimajinasi dan akan terbangun kontak batin antara pengajar dan murid. Kadang
kala aku memanfaatkan boneka yang tersedia di seperangkat Iqropolly. Setiap
volunteer mempunyai karakter dan kemapuannya masing-masing dengan teknik
mengajar yang unik.
Para volunteer juga merasakan kebahagiaan bisa bertemu dengan
anak-anak yang menyambut kedatangan kami dengan suka ria. Ketika para volunteer
memperkenalkan diri satu per satu, terlihat guratan ceria di wajah mereka.
Senyum manis Imas (kelas 2), Rohmi (Kelas 5), Miftah (kelas 4), Ujang (kelas
1), Eka (kelas 3), dan Heti (kelas 6) selalu membuat kami senang. Menyatu
dengan dunia mereka adalah suatu harta yang sayang jika tidak dimanfaatkan
secara baik. Masa kanak-kanak adalah masa pertumbuhan di mana mereka dapat
menangkap pelajaran dengan mudah. Di kelas, kami banyak bermain dengan mereka
lewat berbagai macam tepukan seperti tepuk semangat, tepuk salut, dan lainnya.
Ada juga nyanyian-nyanyian ceria seperti ikan buntal, aku sudah mandi, dan sedang
apa. Ada juga joget-joget gembira seperti senam tekjing, marina menari, dan
permainan jari tangan.
Menjelang pukul setengah 12 siang, kegiatan belajar mengajar
dibubarkan. Para siswa berbaris rapi dan menyalami para volunteer. Tim
Iqropolly menuju masjid, mempersiapkan diri untuk sholat dzuhur. Setelah
sholat, kemudian makan siang di rumahnya Bu Ai dan kembali lagi ke masjid untuk
mengadakan breafing. Di siang itu tim Iqropolly berkumpul untuk
mendiskusikan agenda berskala luas, yaitu agenda yang melibatkan masyarakat
setempat. Satu per satu mengemukakan pendapat dan menjelaskan usulan program
yang diusung. Kak Uning, sekretaris panitia mencatat setiap gagasan yang
dikemukakan kemudian kumpulan gagasan itu dikaji kembali di akhir hingga
mengerucut menjadi dua agenda yang mungkin dilaksanakan 2 pekan ke depan.
Agenda pertama adalah penyuluhan vertical garden dan parenting. Agenda
ini digagas oleh Mbak Tutik dan Kak Sukron Makmun. Untuk menyukseskan agenda
ini hanya diperlukan bambu berdiameter besar dan benih tanaman dengan akar yang
tidak terlalu besar. Sementara acara penyuluhan parenting dibebankan
kepada Mbak Tutik sebagai pemateri.
Agenda kedua adalah pembuatan tempat sampah di berbagai titik.
Agenda ini diusung oleh Kak Cahyo. Ia mengamati lingkungan sekitar yang cukup
kotor dengan sampah yang berserakan. Hal ini disebabkan karena
ketidaktersediaannya tempat sampah. Para volunteer pun kebingungan ketika mau
membuang sampah dan menjadikan saku celana sebagai tempat sampah sementara.
Tempah sampah ini rencananya akan dibuat dari bahan bekas ataupun bambu, dan
proses pembuatannya melibatkan para pemuda.
Bahasan yang kedua adalah sosialisasi terhadap masyarakat sekitar.
Agenda sosialisasi ini dianggap penting untuk menjalin tali silaturahim
sehingga agenda ini terkesan friendly dan merakyat. Seringkali agenda
mahasiswa yang melaksanakan agenda kemasyarakatan berbuat semena-mena, sombong,
dan tidak menyapa masyarakat. Bu Ai pun pernah menyampaikan hal itu. Ada salah
satu kampus yang melaksanakan agenda KKN di daerahnya dengan berlaku sombong
dan sok mahasiswa. Setelah disepakati, kegiatan sosialisasi itu
dilaksanakan di setiap siang hari setelah makan siang. Agenda ini baru akan
dilaksanakan keesokan harinya.
Hari demi hari berlangsung dengan kegiatan rutin dan pokok program
berupa permainan Iqropolly. Selang beberapa hari, kegiatan sosialisasi
masyarakatpun dilaksanakan. Tim Iqropolly dibagi menjadi beberapa kelompok
untuk disebar di berbagai tempat.
Di penghujung akhir pekan, tepatnya hari Minggu, tim Iqropolly
mengadakan perjalanan menuju Baduy dalam yang diarahkan oleh Pak RT. Baduy
dalam terdiri dari 3 kampung yaitu Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Adapun
hari ini mereka akan mengadakan perjalanan menuju Cibeo. Baduy dalam adalah
daerah suku Baduy yang masih asli dan orisinil memegang kepercayaan adat
leluhur. Peraturan-peraturan adat selalu ditaati secara turun temurun. Di
antara larangannya adalah tidak boleh menggunakan listrik, tidak boleh beralas
kaki, tidak boleh pacaran, tidak boleh pindah agama dari kepercayaan asli
mereka yaitu Sunda Wiwitan, dan tidak boleh mengenyam pendidikan.
Pemegang kekuasaan tertinggi suku ini ada di tangan pu’un (kepada
adat). Ialah yang menjodohkan suku baduy secara otoriter dan tidak ada tawar
menawar. Ketika ada penduduk yang melanggar maka akan di keluarkan dari wilayah
baduy dalam.
Perjalanan ini yang sangat memanjakan mata karena sepanjang
perjalanan disuguhi perbukitan, hutan rindang, dan jembatan bambu yang dirakit
tanpa paku. Keasrian alam masih sangat terjaga dan penduduk sangat bersahabat
dengan alam.
Sesampainya di kampung Cibeo, kami mengunjungi salah seorang rumah
penduduk, bercengkerama dan makan-makan. Aku sempat bertanya kepada salah
seorang remaja berusia 21 tahun yang menikah di usia 17 tahun, apakah ia betah
tinggal di hutan seperti ini. Ia dan penduduk yang lain merasa betah tinggal di
hutan seperti ini karena bisa hidup menyatu dengan alam, hidup dengan
ketenangan dan keasrian.
Adapun mata pencaharian pokok mereka selain bercocok taman adalah
menjual pernak-pernik oleh-oleh yang mereka buat sendiri dari hasil hutan
seperti gelang, gantungan kunci, gelas, tas, dan ikat baduy.
Setelah kenyang berwisata budaya, tim Iqropolly pulang kembali ke basecamp
melewati lika-liku jalan yang licin dan becek menyisakan sepatu yang tebal
bertanah, celana kotor terciprati air comberan dan baju basah oleh keringat
bercampur air hujan.
Senin di pekan kedua kembali berjumpa. Rangakaian aktivitas formal
harian berjalan seperti biasanya. Kedekatan para volunteer dengan adik-adik
kian erat hingga satu per satu karakter unik mereka aku hafal. Seperti semangat
belajar Ujang yang menggebu walaupun seringkali ia tidak punya bekal uang
jajan. Senyum manis Imas ketika belajar dan sifat periangnya yang khas.
Kecerdasan Miftah, seorang anak pak Ustadz yang tak ada duanya di MI Masyarikul
Huda. Dan masih banyak kenangan lainnya.
Di penghujung acara, tim panitia mengadakan permainan Iqropolly
raksasa di mana para pemainnya ada 10 kelompok yang tiap kelompoknya terdiri
dari 4 orang responden yang dibina oleh para volunteer. Kegiatan pamungkas ini
sangat meriah karena tidak hanya responden yang boleh bermain, melainkan
seluruh siswa MI. Setiap kelompok mempertunjukkan kebolehannya dan menampilkan ilmu
yang didapat selama seminggu ke belakang dan dimeriahkan dengan yel-yel
menarik.
Keesokan harinya, Kamis tanggal 25 Januari 2018 tim volunteer
mengadakan perhelatan akbar bernama Gebyar Iqropolly yang berisikan penampilan
para siswa MI dan penganugerahan nominasi siswa. Dalam acara itu juga
diselenggarakan acara penyuluhan parenting yang dilaksanakan di ruang
kelas MTs Alam Wiwitan. Acara ini disambut dengan antusiasme para ibu yang
ditandai dengan meluapnya jumlah pengunjung. Adik-adipun bersuka ria karena
mendapat hadiah doorprize dan berbagai penghargaan. Tentunya kebahagiaan
yang tim Iqropolly berikan ini adalah sebagai bentuk pamitan kita kepada
masyarakat. Di penghujung acara gebyar Iqropolly ini ditutup dengan pengumuman
Duta Iqropolly, dan terpilihlah seorang putra dan putri dari MTs Alam Wiwitan
untuk mengemban amanah membangun komunitas Iqropolly. Di penghujung acara, ada
pemutaran video selama kegiatan. Dan terakhir, seluruh volunteer dan panitia
mempersembahkan sebuah lagu berjudul “Semua Tentang Kita”. Lagu itu berhasil membuat
adik-adik mengeluarkan air mata kesedihan yang membuat panitia juga merasakan
kesedihan. Ada kenangan yang mengangkut di antara kita dan mereka. Siang itu
kesedihan tumpah di antara kita.
Di hari yang sama, program kerja pembuatan tempat sampah dilaksanakan
dengan melibatkan sebagian kecil pemuda. Tadinya program vertical garden juga
akan dilaksanakan di hari yang sama. Namun karena ada kendala berupa tidak
tersedianya bambu yang berdiameter besar sehingga tidak layak untuk digunakan
media bercocok tanam.
Pada malam harinya, tepat ketika pembacaan tadarus di juz terakhir,
diadakan acara khataman Al-Qur’an dan dilanjut dengan makan-makan. Acara
khataman itu didesain sebagai acara farewell tim Iqropolly yang dihadiri
tokoh masyarakat seperti Pak RT, ketua kepemudaan, guru-guru MTs, dan Bu Ai
beserta suaminya Pak Ahmad. Di malam itu bu Ai menyampaikan pesan dan kesan
untuk para tim Iqropolly. Setelah acara formal selesai, dilanjut makan malam
dengan menu istimewa yaitu nasi tumpeng. Seusai makan, panitia melanjutkan
acara dan memberikan sebuah kejutan berupa pengumuman volunteer terbaik. Semua
volunteer terkejut karena dari sejak awal tidak terbayang akan ada
penganugerahan volunteer terbaik. Semakin terkejut lagi ketika volunteer
terbaik itu jatuh kepadaku dan Mbak Tutik dari UNNES. Aku tak habis pikir bisa
terpilih. Tapi bagaimanapun juga tetap aku syukuri. Acara farewall ini
ditutup dengan foto bersama.
Jumat pagi dilaksanakan postest bagi 40 responden. Sehabis sholat
Jumat dilanjut packing untuk persiapan pulang kembali ke Bogor. Keesokan
harinya, Sabtu tanggal 27 Januari, tim Iqropolly pulang menuju Bogor.
Sebuah kegiatan dakwah yang tidak akan pernah hilang di ingatan
walaupun ditelan waktu. Tanah baduy menjadi saksi perjuangan kita berdakwah di
tengah gempa yang melanda, hujan yang tak enggan reda, dan badai yang mengamuk.
Tapi itu tak seberapa dibanding dakwah sesepuh di kampung ini, yaitu Bu Ai
Dewi. Pelajaran yang aku dapat dari tanah Baduy tentang cinta alam dan
ketulusan akan selalu aku ingat.
Good👍
ReplyDelete