Sepucuk kenangan di Tanah Baduy




Awalnya aku menjumpai sebuah postingan foto di instagram tentang rekrutmen volunteer Iqropolly goes to Baduy. Aku penasaran, apa itu Iqropolly. Aku amati pamflet itu. Yang tergambar pertama kali saat mendengar kata Iqropolly adalah permainan monopoli. Dan benar ternyata Iqropolly terinspirasi dari permainan monopoli, kemudian didesain supaya lebih mengedukasi, khususnya pendidikan Islam. Aku tertarik dengan kegiatan sosial ini. Pasalnya bergelut dengan anak-anak kecil adalah hal yang sudah biasa aku lakukan sejak dulu SMP ketika mengajar di TPA dekat rumah. Aku pun termotivasi untuk mencari hal-hal baru yang mungkin bisa diadopsi ketika aku kembali mengajar di TPA.
Aku beranikan diri untuk mendaftar dengan mengirimkan Curiculum Vitae  ke alamat email panitia. Berselang seminggu, pengumuman 100 besar pun keluar. Panitia mengumumkan bahwa ada 334 pendaftar dari 73 perguruan tinggi yang mengirimkan CV. Alhamdulillah, aku termasuk di antara mereka yang lolos. Aku mengikuti seleksi tahap selanjutnya, yaitu wawancara via videocall. Aku tidak terlalu percaya diri jika diajak ngobrol. Tapi mau tidak mau aku harus menjawab seluruh rangkaian pertanyaan dengan sepercaya diri mungkin. Dan untungnya pertanyaan yang dilontarkan panitia sangat cocok dijawab oleh orang yang suka mencari kesibukan seperti aku. Berselang sekian minggu, pengumuman 30 besar dirilis. Aku ada di antaranya. Kini seleksi terakhir, yaitu mengirimkan video mengajar. Dalam jangka waktu sekitar 5 hari, aku sempatkan untuk membuat media penunjang untuk mengajar berupa beberapa lukisan yang aku tempel di kardus. Properti itu aku gunakan untuk bercerita, karena aku yakin dengan adanya alat bantu visual, cerita  yang disampaiakan akan lebih terkesan dan membekas di ingatan mereka. Aku meminta bantuan teman untuk mem-video-kan aku lalu di hari itu juga dikirimkan videonya secara pure  tanpa editan karena aku tidak punya banyak waktu. Kala itu sedang musim UAS.
Aku bersujud syukur ketika di-SMS panitia secara personal chat bahwa aku keterima. Dengan penuh rasa syukur kutumpahkan rasa bahagiaku dengan sujud syukur. Mulai saat itu aku persiapkan diri mencari bahan-bahan untuk mengajar berupa permainan, lagu-lagu, dan metode belajar yang unik. Tak lupa aku terus memantau informasi yang masuk di grup WA Volunteer Iqropolly dan melengkapi persyaratan yang diminta oleh panitia. Seluruh volunteer terpilih harus ke Bogor pada tanggal 10 Januari 2018 untuk mengikuti serangkaian pelatihan sampai tanggal 14 Januari 2018 sebelum acara puncak dilaksanakan, yaitu tanggal 15 sampai 27 Januari 2018 di baduy. Tepatnya kampung Cicakal Girang, desa Kanekes, kecamatan Leuwidamar, kabupaten Lebak, provinsi Banten.
Tanggal 10 Januari aku berangkat ke Bogor menuju Institut Pertanian Bogor. Di kampus inilah founder Iqropolly mengenyam pendidikan. Dia adalah Agung Suharyana, mahasiswa semester 8 jurusan ekonomi. Karya PKM-nya ini sudah menembus juara 2 (medali perak) PIMNAS XXIX, diundang seminar di Malaysia, dan diliput beberapa media seperti, NET TV, TRANS 7, Metro TV. Mahasiswa asal Kabupaten Kuningan ini pernah menjadi asisten dosen Sosiologi sejak semester 2. Masih banyak cerita inspiratif yang dimiliki founder Iqropolly ini yang sejelasnya akan dipaparkan di bagian selanjutnya.
Setibanya di stasiun Bogor aku dijemput oleh salah satu panitia bernama Muhammad Kholili. Sepanjang perjalanan aku bertanya banyak hal tentang IPB dan segala yang meliputinya. Sepuluh volunteer yang terpilih dan diundang ke Bogor ini ditempatkan di pondok Inspirasi. Pondok ini berada di bawah naungan bank BRI sebagai bentuk CSR (Corporate Social Responsibility) mereka di bidang pendidikan. Awalnya pondok ini dikhususkan untuk mahasiswa penerima bidikmisi. Namun baru-baru ini dibuka untuk mahasiswa umum yang memebuhi syarat seleksi penerimaan.
Pondok ini banyak menyimpan kekaguman bagiku. Di antaranya adalah nilai religi yang sangat kental diterapkan di tata terbit peraturan yang berlaku. Memang aku tidak melihat peraturan itu secara tertlulis. Tapi selama lima hari itu aku berbaur dengan mahasiswa pondok inspirasi dan ikut merasakan suasana menjadi santri pondok inspirasi. Pukul 3 pagi santri sudah dibangunkan oleh petugas piket malam. Sebelumnya pukul 11 malam seluruh lampu asrama harus dalam kondisi padam. Artinya tidak boleh ada santri yang masih melakukan aktivitas selain beristirahat. Aku sangat kagum. Kampus yang tidak ada embel-embel Islamnya ini bisa mengaplikasikan nilai-nilai Islam. Di antaranya adalah sabda Rasulullah yang menyuruh ummatnya untuk bersegera tidur dan bersegera bangun pagi.
Kemudian di setiap hari Senin dan Kamis seluruh santri dibiasakan untuk berpuasa sunnah sehingga seolah menjadi wajib bagi mereka. Dan ketika maghrib menjelang, mereka berbuka puasa bersama. Sungguh nuansa kehidupan yang aku rindukan dan sebenarnya ingin aku adopsi di lingkungan kampusku.
Malam pertama diadakan pertemuan perdana sekaligus welcoming party dari panitia di pondok Impian (sejenis pondok Inspirasi namun ditujukan untuk anak jalanan. Masih di bawah naungan bank BRI). Acara itu berisi perkenalan kesepuluh volunteer beserta tim panitia Iqropolly. Sebagian besar para volunteer sudah hadir malam itu. Mereka adalah Zatta Yumni dari Universitas Syiah Kuala Aceh, Khuzaimah dari Universitas Negeri Medan, Rahmadini Payla Juara dari Institut Petanian Bogor, Siti Pangestutik dari Universitas Negeri Semarang, Sandri Nur Anisa dari Institut Pertanian Bogor, Emy Hamayani dari Institu Ilmu Qur’an, Iqmi Qaisah Ali dari Universitas Brawijaya, Ghania Ahsani Ramadani dari Institut Pertanian Bogor, aku, Fadlan Ash-shidiq dari IAIN Salatiga, dan yang terakhir ada Praditya Fajar dari Institut Pertanian Bogor. Setelah itu dilanjut dengan pengenalan panitia Iqropolly. Agung Suharyana adalah  founder Iqropolly sekaligus ketua pelaksana, Rosyid Amrullah, Cahyo, Syukron Makmun, Sanhaji, Muhammad Kholili, Sofa, Uning Sari, dan My Diah dari jajaran panitia. Kesemua tim panitia adalah mahasiswa IPB yang tinggal di pondok inspirasi. Kemudian Kak Agung mengumumkan agenda pelatihan yang akan dilaksanakan di Tapos, daerah puncak Bogor selama 3 hari 2 malam. Acara ditutup dengan makan malam.
Keesokan harinya masih dalam rangkaian perkenalan yaitu field trip dan jogging keliling kampus Institut Pertanian Bogor. Perjalanan mengitari kampus yang luas ini seakan tidak terasa capek karena sepanjang perjalanan selalu diisi dengan perbincangan. Saat terkesan yang tak boleh ditinggalkan adalah ketika sampai di tugu koin. Di sanalah para mahasiswa IPB yang akan wisuda berfoto. Para volunteer yang datang dari berbagai daerah pun tidak ingin melewatkannya.
Masih pukul 9 pagi di hari Kamis. Kak Agung menginstruksikan untuk kegiatan bebas yaitu sarapan pagi dan persiapan untuk berangkat ke puncak nanti malam. Setelah sarapan, sebagian volunteer pergi ke pasar mencari perlengkapan yang dibutuhkan seperti payung dan tumbler.
Acara hari itu cukup untuk mengenalkan suasana Kota Bogor. Tiba saatnya ke acara inti yaitu pelatihan Program Masterpiece dan strategi pemberdayaan komunitas adat terpencil bersama Badan Amil Zakat Nasional. Tim Iqropolly goes to Baduy berangkat ke puncak pada malam hari pukul 8 dan sampai di lokasi pada pukul 11 malam. Para volunteer yang masih asing dengan lokasi ini cukup terkejut karena HP sudah tak berfungsi lagi kecuali hanya untuk kamera. Alias di sini tidak ada sinyal.
Sebelum beristirahat, kami minum-minum dan makan-makan terlebih dahulu menikmati suasana alam asri dengan perbincangan hangat di antara kita. Gemercik air sungai bergelut dengan dingin yang menusuk kulit mengiringi malam yang syahdu. Dan secangkir kopi atau teh sebagai penawarnya. Setidaknya setetes kehangatan merasuki tubuhku. Tim Iqropolly pun berlabuh di pulau kapuk dengan berusaha mencari kenyamanan karena harus bergelut dengan dinginnya malam.
Keesokan harinya, di Jumat pagi yang cerah, diisi dengan kegiatan oleh raga pagi berupa senam dan dilanjut bermain basket. Aku terlihat seperti orang yang paling handal di antara mereka karena memang volunteer dan panitia ikhwan yang bisa hadir dan ikut berolahraga di hari itu hanya aku dan ketua pelaksana. Selebihnya adalah volunteer akhwat.
Matahari beranjak merangkak lebih tinggi sehingga menjatuhkan bayangan tubuh ketika aku berdiri di tepian sawah memandang bentangan alam yang tampak terlihat megah dilihat dari sini. Tim Iqropolly sarapan terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke acara berikutnya yaitu pengenalan Iqropolly berikut cara memainkannya. Aku membantu Kak Agung menyiapkan seluruh properti di aula, memasang banner dan karpet. Acara pengenalan Iqropolly pun dimulai pada pukul 9 pagi. Kak Agung membuka acara kemudian dilanjut dengan memperinci asal-usul kehadiran Iqropolly. Ia menyebutkan bahwa Iqropolly lahir dari ruang inspirasinya melihat permainan monopoli kemudian didesain sedemikian rupa sehingga lebih mengedukasi dan tidak hanya bermain yang didapat, melainkan juga belajar. Jika kolom-kolom dalam monopoli diisi dengan nama-nama negara, dana umum, kesempatan, dan penjara, maka Iqropolly yang terdiri dari 23 kolom ini berisikan tema-tema pembelajaran Islami meliputi rukun Islam, rukun Iman, syahadat, nabi dan rasul, malaikat, pergaulan Islami, lagu Islami, do’a-do’a sehari-hari, pahala, dan rintangan. Permainan ini diikuti oleh maksimal 4 orang dengan puzzle sebagai indikator untuk menentukan siapa pemenangnya. Puzzle ini terdiri dari 9 potongan di mana 1 potongnya dihasilkan ketika pemain mendapatkan point 5. Point-point ini didapat ketika pemain bisa menjawab pertanyaan yang ada di kolom tersebut.
Setalah panjang lebar menjelaskan, rasanya tidak afdhol jika para volunteer tidak turun langsung memainkan boardgame Islami ini. Para volunteer pun membentuk lingkaran dan mulai mempraktikkannya secara langsung. Salah seorang di antaranya bertindak sebagai juri yang membacakan soal-soal kepada para pemain.
Di penghujung acara, Kak agung memberikan tugas kepada para volunteer untuk menampilkan sebuah cerita sejarah nabi menggunakan media boneka yang tersedia di seperangkat permainan Iqropolly. Waktu dzuhur menjelang, acara pun diakhiri. Aku, Kak Agung, dan Kak Cahyo pergi ke masjid bersama pak Barta dengan mobilnya. Jarak masjid cukup jauh, berada di ketinggian yang dapat ditempuh dekitar 10 menit perjalanan melewati hutan yang dilindungi oleh pemerintah.
Sehabis dzuhur, isterinya Pak Barta, pemilik villa di titik terendah puncak Bogor ini telah menyiapkan menu makan siang. Beliau dan isterinya adalah seorang dermawan alumni IPB yang suka menawarkan villa mewahnya ini untuk digunakan agenda-agenda kampus IPB secara sukarela, alias gratis. Padahal jika wisatawan ingin menyewa villa ini harus merogoh kocek 5 juta per malam. Sunggah betapa dermawannya beliau ini.
Acara dilanjutkan pada pukul setengah 2. Para volunteer mau tidak mau harus menampilkan teknik mengajar dalam bentuk cerita dengan waktu singkat yang diberikan panitia. Satu per satu maju menampilkan kebolehannya dan panitia merekamnya dalam bentuk video. Di penghujung acara, panitia membuat forum diskusi dan komentar di mana seluruh volunteer diberi pengarahan dan masukan atas apa yang telah ditampilkan.
Kak Agung memberikan free time setelah ashar hingga menjelang maghrib. Para volunteer pun memanfaatkannya dengan hunting foto di sekitar villa yang cukup luas ini dan bermanjaan dengan deburan air sungai. Sebagian lainnya memasak mie dan kopi. Termasuk aku. Acara hari itu cukup menguras tenaga dan membuatku lelah. Namun kesejukan villa ini menjadi penawarnya.
Di rundown yang telah dibuat panitia, sehabis isya akan diadakan sharing-sharing dengan Pak Barta. Beliau adalah orang hebat, pintar, dan kaya yang pengalaman yang sangat disayangkan jika tidak kita petik ilmunya. Namun malam itu Pak Barta terlihat sedang sibuk dan tidak mungkin waktunya diganggu. Di sisi lain kak Agung terlihat sedang sakit dan berbaring di villa. Setelah aku cek, kak Agung demam. Tidak hanya kak Agung, kak Cahyo pun juga merasakan sakit dan mual-mual. Pak Barta dan isterinya pun menghampiri tim Iqropolly dengan sepanci bubur kacang ijo yang masih hangat. Malam yang seharusnya digunakan untuk agenda kegiatan itu berubah menjadi agenda kumpul-kumpul dan perbincangan renyah. Seperti biasa, bergelut dengan dingin.
Malam masih panjang sehingga sayang jika aktivitas harus berhenti begitu saja. Kondisi kak Agung juga sudah membaik. Setelah makan malam di aula, kak Agung berinisiatif untuk mengadakan agenda talkshow interaktif antara para peserta volunteer. Satu per satu para volunteer diinterogasi oleh volunteer lain sehingga satu sama lain saling mengenal seluk beluk masing-masing. Malam itu sangat senang sekali aku rasakan karena bisa berkumpul dengan orang-orang hebat yang mempunyai segudang pengalaman yang membuatku terpacu untuk melakukan hal yang sama. Termasuk founder Iqropolly yang rekam jejaknya sangat menginspirasi banyak orang, khususnya mereka yang berkarakter introvert sejak kecil seperti aku. Kak Agung hobi bermain piano sejak kecil. Kelihaiannya bermain piano ini membuat prestasi di bidang musiknya melonjak. Ia telah 6 kali menjuarai festival band semasa SMA-nya.
Di samping hobi bermain piano, ia juga sangat produktif dalam menulis, terutama esai dan karya tulis. Ia seringkali mengikuti perlombaan esai tingkat nasional dan hingga saat ini tercatat ia sudah menjuarai 5 perlombaan esai dan karya tulis serta 3 PKM yang lolos dan didanai pemerintah. Dengan prestasinya ini, ia sering diundang oleh kampus untuk mengikuti acara-acara konferensi dan simposium internasioanal. Lambat laun ia semakin pandai berbicara di depan umum sehingga aku tidak menyangka jika kak Agung dulunya seorang introvert.
Malam semakin kelam. Perbincangan hangat itu pun diakhiri ketika para mahasiswa pondok inspirasi putra dan putri telah tiba di villa ini untuk ikut serta dalam acara pelatihan Program Masterpiece dan strategi pemberdayaan komunitas adat terpencil bersama Badan Amil Zakat Nasional esok hari. Sebelum beristirahat, acara dilanjutkan dengan perkenalan singkat antar para volunteer dengan mahasiswa pondok inspirasi (pondasi). 
Keesokan harinya pelatihan Program Masterpiece dan strategi pemberdayaan pun digelar. Aku bertindak sebagai Qori di acara pembukaan. Kemudian acara inti dimulai. Bu Sri Nurhidayah, seorang alumnus UI sekaligus guru di berbagai kampus dan sekolah ini mengisi pelatihan program masterpiece. Seluruh peserta yang terdiri dari tim Iqropolly dan mahasiswa pondasi ini sangat antusias memperhatikannya. Bu Sri menjelaskan bahwa untuk membuat suatu program berkelanjutan (masterpiece) maka harus tuntas menyelesaikan 4 hal, yaitu mengubah paradigma masyarakat, maslahat beyond, mendorong gerakan masyarakat, dan kemandirian dalam artian program itu menjadi sebuah organisasi. Para peserta pun dibentuk 5 kelompok untuk mendiskusikan dan merancang Iqropolly menjadi sebuah program masterpiece. Di penghujung acara, perwakilan kelompok maju mempresentasikan hasil diskusinya dan memaparkan program-program rancangannya. Bu Sri menanggapinya dengan bangga dan mengapresiasinya dengan baik. Bahkan beliau tidak menyangka jika pemikiran para peserta melampaui apa yang ada dalam pikirannya.
Acara itu berakhir seiring waktu zmenjelang. Sholat berjamaah didirikan, dilanjut makan siang.
Pukul 2 siang, forum resmi kembali digelar. Pak Farid Septian, kepala divisi dakwah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) membawakan materi terkait strategi pemberdayaan komunitas adat terpencil. Beliau sangat ahli di bidangnya dan paham seluk-beluk cara untuk berdakwah. Beliau memaparkan fiqih dakwah yang beliau rangkum menjadi 10 point, yaitu : Memberikan keteladanan sebelum berdakwah, mengikat hati sebelum menjelaskan, mengenalkan sebelum memberi beban, mengajar secara bertahap, memudahkan bukan mempersulit, memulai dari yang pokok sebelum cabang, memberi kabar gembira sebelum ancaman, memahamkan bukan mendikte, mendidik bukan menelanjangi, dan berpikir bahwa muridnya adalah guru bukan muridnya adalah guru.
Terkait dengan materi program masterpiece yang disampaikan oleh bu Sri, pak Farid menghubungkan materinya itu dengan memaparkan pentingnya Iqropolly dipromosikan sebagai media dakwah. Program ini merupakan bagian dari syarat kekuatan seorang Muslim yang terdiri dari 4 hal, yaitu : bangga dengan Islam, berjamaah untuk kebaikan, pandai memilik pemimpin, dan mengamalkan Islam secara kaffah. Beliau mengutip pandangan itu dari seorang syekh bernama Yusuf Qardhowi. Di akhir pembahasan, ada statement penting yang aku tangkap, yaitu : jangan menjadikan Iqropolly sebagai alat untuk membesarkan nama kita karena itu bukan esensi dari dakwah Islam. Ini terkait dengan meluruskan hati dan niat supaya tujuan dakwah kita murni karena Allah. Point kedua yang aku dapat adalah jangan menciptakan image di benak kita bahwa masyarakat Baduy itu membutuhkan kita. Tetapi terbalik, yaitu kita membutuhkan mereka. Kemudian tidak disarankan memandang mereka orang yang terbelakang, karena di balik itu mereka punya kekuatan dan sikap pola hidup yang perlu diterapkan oleh masyarakat perkotaan. Sikap itu adalah cinta alam dan keasrian yang sudah luntur di masyarakat perkotaan. Jadi image yang tepat yang harus dicamkan adalah berguru kepada Baduy supaya jiwa tawadhu bersarang di hati para volunteer.
Kedua acara yang dibawakan kedua pemateri hebat itu mengakhiri rangkaian acara di villa ini. Sore itu, tepatnya pukul 5, tim Iqropolly dan sejumlah mahasiswa pondasi berpamitan kepada Pak Barta dan isterinya. Aku sangat berterima kasih terhadap beliau dan menyampaikan sepenggal do’a untuk kesehatan beliau dan penuh harap beliau juga bisa menyambangi rumahku di Ciamis.
Tim Iqropolly tiba di asrama pondasi dengan membawa tubuh yang lelah. Mereka tiba pukul 10 malam dan lanjut makan malam kemudian beristirahat.
Keesokan harinya, pada jam makan pagi, Kak Agung menginstruksikan kepada tim untuk mempersiapkan keberangkatan menuju Baduy pada Senin dini hari pukul 00:00 tanggal 15 Januari 2018. Kak Agung mengingatkan para volunteer untuk senantiasa menjaga kesehatan mereka dan segera lapor jika merasakan sakit supaya cepat diatasi. Siang hari itu digunakan mereka untuk berkemas dan menyiapkan peralatan yang perlu dibawa ke medan dakwah.
Sebelum pukul 00:00, bis Rudi sudah tiba di sekitar kampus. Barang-barang berupa tas-tas carrier dan perlengkapan lainnya dinaikkan ke dalam bus terlebih dahulu. Kemudian tim menempatkan diri di kursi bus. Setelah berdo’a (do’a berkendaraan sekaligus mau tidur), bus itu diberangkatkan menuju tempat tujuan.
Tim Iqropolly tiba di Desa Ciboleger, Baduy pada pukul setengah 5 tepat ketika adzan subuh berkumandang. Kami pun sholat berjamaah di masjid sekitar.
Pagi hari, kami rehat sejenak di sebuah warung makan untuk sekedar menyimpan barang-barang dan santap sarapan. Setelah hari cukup terang, perjalanan berskala perjuangan menuju Baduy pun dimulai. Jalan terjang sejauh 8 km yang terdiri dari turunan curam dan tanjakan tajam itu dilalui dengan penuh perjuangan karena membawa beban berat di punggung mereka, yaitu tas carrier dan beberapa peralatan lainnya. Seringkali berhenti dan beristirahat sejenak di beberapa kampung.
Pasukan pejuang mardhotillah ini sampai di lokasi dakwah, yaitu kampung Cicakal girang dengan membawa tubuh sempoyongan, kaki kaku, dan mata kantuk. Mereka tak kuat menahan lapar, capek, dan kantuk yang bercampur aduk. Tim Iqropolly transit di rumahnya bu Ai Dewi, seorang aktivis dakwah yang akan memantau kegiatan tim Iqropolly di kampung ini. Bu Ai menyambutnya dengan ramah dan mempersilahkannya masuk. Waktu dzuhur tinggal beberapa menit lagi. Makan siang sudah bu Ai sajikan di ruang tamu. Tim Iqropoly pun melaksanakan sholat dzuhur berjamaah terlebih dahulu, kemudian kembali ke rumahnya bu Ai untuk makan siang. Karena bercampur rasa lelah, siang itu juga mereka beristirahat di basecamp masing-masing. Ikhwan di rumahnya Pak Jari, sementara Akhwat di rumahnya pak RT.
Kala adzan ashar berkumandang, mereka menyempatkan diri pergi ke masjid untuk menunaikan sholat asar berjamaah. Tidak ada keramaian di masjid ini ketika waktu ashar menjelang. Tak seorang pun warga yang hendak ke masjid. Akupun bertindak sebagai muadzin. Setelah sholat berjamaah, tim Iqropolly berkumpul sejenak untuk melaksanakan briefing.
Mereka kembali ke basecamp untuk keperluan MCK dan persiapan sholat maghrib dilanjut tadarus dan makan malam di rumahnya bu Ai. Malam itu Kak Agung membuka acara pembukaan secara formal. Kak Sanhaji bertindak sebagai MC, sementara aku sebagai Qori. Setelah menyampaikan kata-kata sambutan, kak Agung mempersilahkan waktu yang leluasa kepada bu Ai untuk memberikan arahan dan pengenalan terhadap kondisi Baduy.
Acara berlangsung interaktif. Para volunteer dan panitia saling bersahutan melontarkan pertanyaan. Semakin banyak pertanyaan yang dilontarkan, semakin panjang cerita yang dipaparkan bu Ai. Akupun menangkap cerita atas apa yang disampaikan beliau tentang Baduy dan kisah perjuangan beliau berdakwah di sini.
Kampung Cicakal girang adalah satu-satunya kampung yang beraga Islam di antara 63 kampung Baduy lainnya. Islamnya kampung ini sudah sejak zaman dahulu, tepatnya zaman Sultan Hasanuddin (utusan dari Kerajaan Islam-Cirebon) ketika berdakwah di kampung ini. Perjuangan dakwah terus berlanjut dari tangan Sultan Hasanuddin menuju para da’i pendatang yang bermukim di Cicakal Girang. Salah satunya adalah Bu Ai Dewi. Beliau memulai perjuangan dakwahnya di Cicakal Girang sejak tahun 1992. Beliau mengembara dari Cianjur, kota kelahirannya bersama sang suami yang bernama Ahmad Hidayat. Awalnya ia menemukan sebuah berita di tabloid Islami bahwa Kementerian Agama membuka rekrutmen relawan agama Islam untuk ditempatkan di Baduy. Saat itu beliau belum bersuami dan masih mengenyam pendidikan di salah satu pondok pesantren di Jawa Timur. Sedangkan berita pencarian relawan di tabloid itu mensyaratkan calon relawan harus berstatus sudah menikah supaya ketika berdakwah nanti ada yang membantunya. Beliau ingin sekali berjuang menjadi relawan dan menyemai ilmunya di tempat terpencil itu. Panggilan wahyu Tuhan untuk berdakwah sangat melekat di hatinya. Mau tidak mau beliau harus menikah terlebih dahulu. Akhirnya ia dijodohkan kepada seorang ustadz berusia 30 tahun bernama Ahmad Hidayat. Kala itu Bu Ai berusia 20 tahun. Pernikahan itu berjalan dengan cepat dan tanpa butuh waktu yang lama untuk mengikatkan jalinan kuat pernikahan (mitsaqon ghalidzon). Tidak lebih dari 2 minggu masa perkenalan, janji suci pernikahanpun dijatuhkan dengan sedikit mengundang tawa di awal pendaftaran kepada KUA. Karena terburu-buru ingin nikah, Pak Ahmad lupa menanyakan siapa nama calon isterinya itu. Pak Ahmad hanya siap dengan niat yang kuat untuk menikah. Setelah sah bersuami isteri, akhirnya bu Dewi didampingi suaminya pergi berjuang di Baduy melewati jalan terjal yang cukup rawan.
Beliau memulai dakwahnya dengan mendirikan dua madrasah, yaitu MI Masyarikul Huda dan MTs Alam Wiwitan. Dengan adanya dua madrasah ini, anak-anak dapat mengenyam pendidikan, melek huruf, dan berpendidikan. Ini merupakan sebuah peningkatan karena sebagian besar orang tua mereka tidak berpendidikan dan hanya lihai di dunia pertanian dan pengolahan kekayaan alam. Ketersediaan fasilitas pendidikan ini masih terdapat banyak kekurangan karena keterbatasan beberapa faktor seperti akses jalan menuju kota, bangunan yang kurang memadai, dan keterbatasan SDM guru.
Setelah sekian tahun berdakwah di Cicakal Girang, beliau menganalisa berbagai kerusakan yang merongrong moral, agama, pendidikan dan ekonomi masyarakat. Di bidang moral, beliau mendapati banyaknya alat-alat canggih dari luar daerah seperti HP dan internet sehingga membuka jalan untuk mengetahui dunia luar secara berlebihan. Salah satunya adalah munculnya hal-hal berkonten pornografi di HP anak-anak. Seringkali Bu Ai menyita HP para siswa dan membantingnya saat itu juga ketika ketahuan isi HP-nya adalah porno. Hal ini jelas merupakan kemerosotan moral anak kampung. Penyebab terjadinya hal ini adalah transmigrasi para pemuda ke kota untuk bekerja dan kembali ke kampung dengan membawa seperangkat hal-hal yang didapatkannya di kota, termasuk ponsel pintar.
Di bidang agama, beliau memperhatikan lemahnya semangat masyarakat untuk pergi ke masjid ketika adzan shalat lima waktu berkumandang. Bahkan Pak Ahmad menuturkan setiap shalat subuh tidak pernah ada masyarakat yang berangkat ke masjid. Setiap hari hanya Pak Ahmad dan anaknya yang sholat di masjid. Pak Ahmad mengungkapkan bahwa paradigma masyarakat akan sholat subuh itu dianggap boleh dilakukan di pagi hari. Masyarakat pun terbiasa bangun jam 5 atau setengah 6 dan baru sholat pada jam itu.
Permasalahan di bidang ekonomi sekaligus pendidikan moral yang diresahkan oleh Bu Ai adalah masuknya para calo kerja illegal dari luar daerah yang merekrut anak-anak di bawah umur dengan diiming-imingi gaji yang menjanjikan. Dan anehnya kedatangan calo ini tidak pernah diketahui oleh bu Ai. Jadi para calo ini hanya melancarkan aksinya ketika bu Ai sedang pulang kampung ataupun bepergian ke luar daerah. Bu Ai hanya tahu ketika ia kembali ke desa dan melihat anak-anak remaja berubah penampilan seperti rambut diberi warna dan beranting.
Bu Ai tidak hanya berdakwah di kampung Baduy luar saja, melainkan seluruh pelosok Desa Kanekes meliputi Baduy dalam yang kental dengan adat[1]. Beliau seringakali menyelinap masuk ke wilayah Baduy dalam dan mendirikan gubuk untuk mengajarkan agama kepada anak-anak Baduy dalam yang notabene adat melarang mereka untuk mengenyam pendidikan. Namun setelah diteliti, Bu Ai melihat gelagat semangat dari mereka untuk belajar. Tak jarang anak Baduy dalam pergi ke rumahnya Bu Ai untuk belajar. Namun sepulangnya di rumah, mereka ditampar oleh ayahnya karena ketahuan belajar di rumahnya bu Ai.
Setelah tindakan penyelundupan ini diketahui warga Baduy dalam, gubuk itu pun dihancurkan dan bu Ai diberi peringatan oleh pu’un untuk tidak mengulanginya lagi. Bu Ai pun mengiyakan hanya untuk sebuah formalitas belaka. Namun gejolak dakwah di dadanya tidak pernah padam.
Peringatan dari pu’un tidak datang sekali dua kali. Pada suatu hari bu Ai memberanikan diri mendatangi pu’un Baduy secara langsung dan mulai berdebat. Teknik dakwah semacam ini dianggap paling muktahir di mana jika ketua adat sudah masuk Islam, maka secara otomatis seluruh warganya pun akan masuk Islam. Bu Ai berdebat tentang pengetahuan Islam secara detail dan mengajak pu’un untuk masuk Islam. Namun pu’un menolak untuk masuk Islam dan malah membalikan suatu fakta. Jang naon asup Islam. Orang Islam na ge loba keneh nu tara sholat. Sok we urus heula ku sorangan. [2] Bu Ai memang mengakui hal itu. Pasalnya warga Baduy sering melihat orang Islam yang berkunjung ke daerahnya untuk tujuan wisata budaya sering meninggalkan sholat. Orang Baduy pun tahu waktu sholat walaupun mereka bukan beragama Islam.
Sukarnya berdakwah di Baduy salah satunya disebabkan oleh faktor historis di mana dahulu pada zaman Islamisasi Kerajaan Hindu-Banten oleh Fatahillah, mereka pergi mengasingkan diri ke suatu tempat yang jauh dari jangkauan masyarakat kota. Tempat itu sekarang adalah wilayah mereka saat ini. Jadi sebenarnya orang Baduy tahu apa itu Islam dan tahu caranya bagaimana masuk Islam. Mereka pun menganggap bahwa agama dalam pandangan mereka hanya dua, yaitu Islam dan Sunda Wiwitan. Mereka menganggap orang Islam sebagai saudara mereka.
Begitulah sekelumit cerita yang aku dapat dari sosok sonder women Cicakal girang. Setelah mengetahui medan dakwah yang disampaikan bu Ai, tim Iqropolly semakin tahu bagaimana cara berdakwah di daerah ini. Pada malam itu pula terjadi kesepakatan dan berbagai persetujuan antara program Iqropolly 2 pekan mendatang dengan kegiatan belajar mengajar di MI Masyarikul Huda dan MTs Alam Wiwitan. Bu Ai menyerahkan sepenuhnya segala bentuk materi pembelajaran kepada tim. Jam mengajar yang diberikan bu Ai kepada volunteer Iqropolly dimulai pukul 07.30 sampai 11.30. Adapun di MTs dimulai pukul 10.00 sampai 11.30. Bangunan MI terdiri dari 3 kelas. Setiap kelas diisi oleh 2 tingkat sekaligus. Satu dengan dua, tiga dengan empat, dan lima dengan enam. Sementara banguan MTs terdiri dari 2 ruang kelas. Kelas 7 ditempatkan secara terpisah, sedangkan kelas 8 digabung dengan kelas 9. Total kelas yang diampu tim volunteer adalah 5 kelas. Total volunteer ada 10. Per kelas dipegang oleh 2 volunteer dan dibantu seorang panitia. Bu Ai juga menyetujui kegiatan permainan boargame Iqropolly yang dilaksanakan setiap sore hari di gedung MI. Kemudian di malam hari setelah isya, tim Iqropolly memberikan waktunya untuk adik-adik yang ingin belajar. Adapun tempatnya berlokasi di rumah pak RT.
Malam semakin larut. Pertemuan perdana ini ditutup pada pukul 11 malam dengan do’a kafaratul majlis. Tim Iqropolly kembali ke basecamp masing-masing.
Dini hari, sekitar pukul setengah 4, tim Iqropolly sudah terbangun untuk melaksanakan sholat malam. Ikhwan di masjid, sementara akhwat di basecamp. Sebelum waktu subuh tiba, salah satu dari ikhwan melantunkan ayat suci Qur’an menggunakan pengeras suara berharap masyarakat setempat ada yang terbangun dan pergi ke masjid. Setelah adzan berkumandang, akhwat menyusul pergi ke masjid. Sebagaimana kegiatan ritunitas di pondasi, ba’da subuh selalu membaca al-ma’tsurat berjamaah. Setelah tadarus mereka kembali ke basecamp untuk MCK, lalu berangkat ke rumah bu Ai untuk sarapan. Sebelum pergi mengajar, Kak Agung memberikan sedikit pengarahan. Kemudian pasukan da’i-da’iah berseragam hijau ini siap diberangkatkan menuju Mi untuk mengajar.
Di hari pertama, tim Iqropolly masuk kelas untuk memperkenalkan diri dan menyapa adik-adik dengan berbagai permainan dan tepukan tangan. Di hari pertama itu mereka berusaha untuk menciptakan yang terbaik supaya ke depannya acara berjalan dengan baik. Kak Umi dan Kak Apri, selaku panitia yang bertugas membuat questioner penelitian membagikan seberkas kertas questioner kepada para volunteer. Kemudian 40 responden yang terdiri dari kelas 3, 4 dan 5 dipanggil untuk menemui volunteernya masing-masing untuk diwawancarai. Setiap volunteer memegang 4 responden.
Pukul 11, para siswa dibubarkan. Panitia berkumpul di masjid -yang bersebelahan langsung dengan MI- untuk briefing dan mengumpulkan dokumen pretest. Kak Agung membuka briefing untuk membahas projek penelitian yang akan dibuatkan paper di akhir acara. Para volunteer menanyakan bagian-bagian yang kurang dimengerti dari pertanyaan yang ada di list questioner. Di penghujung briefing, Mbak Tutik melontarkan sebuah usulan, yaitu mengadakan program khataman Al-Qur’an. Setiap malam ikhwan membaca 2 juz, akhwat 2 juz sehingga di penghujung acara mencapai khatam Qur’an. Adapun pembacaan ayat suci Al-Qur’annya dilaksanakan ba’da maghrib. Semua menerima usulan itu. Kemudian Kak Ghania mengusulkan untuk membuat materi pelajaran yang baku supaya kegiatan mengajar tidak mengambang. Usulan itu direspon positif oleh seluruh volunteer dan Mbak Tutik bersedia untuk mendesain kurikulum harian.
Satu per satu volunteer menguap, menahan kantuk yang menyerang. Ya, semuanya kelelahan. Satu jam sebelum waktu asar, briefing diakhiri.
Sehabis asar, para volunteer kembali melaksanakan misi mulianya, mengajar anak-anak di masjid dengan media Iqropolly. Adek-adek pun menyambutnya dengan antusias ditandai dengan meluapnya jumlah sasaran pemain. Dari jumlah 4 responden sasaran penelitian, yang hadir malah lebih dari itu. Alhasil yang lainnya bermain sebagai pendukung. Namun volunteer menyiasatinya dengan mengajak mereka ikut menjawab pertanyaan. Adik-adik bermain dengan semangat karena berusaha mengejar misi melengkapi puzzle hingga tersusun sempurna. Yang paling mereka senangi adalah ketika menginjak kotak rezeki di mana ia mendapat dua potong puzzle sekaligus tanpa pertanyaan yang harus ia jawab. Titik kedua yang mereka senangi adalah ketika aku bercerita menggunakan media boneka Iqro dan Polly. Mereka mengikuti alunan cerita nabi dan para sahabat dengan baik yang ditandai dengan kontak sepasang mata mereka yang tertuju pada boneka.
Ketika salah seorang adik bisa menyusun puzzle secara sempurna, permainan Iqropolly berakhir. Satu per satu para volunteer membubarkan pembelajaran di sore hari lalu meninggalkan masjid, kembali ke basecamp untuk persiapan sholat maghrib berjamaah.
Satu hal yang mengesankan selama berlangsungnya acara adalah mengantre dan berebut kamar mandi sampai setiap pagi atau sore hari ada di antara kita yang tidak mandi. Di basecamp akhwat malah dibuat kelompok mandi pagi dan kelompok mandi sore. Sedikit menyengsarakan namun di sisi lain juga mengesankan.
Setelah sholat maghrib berjamaah, ikhwan tadarus di masjib. Salah seorang menggunakan pengeras suara. Sementara akhwat mengaji di basecamp. Setelah target 2 juz tercapai, mereka pergi ke rumah bu Ai untuk makan malam. Kemudian kembali ke masjid untuk sholat isya dilanjut belajar bersama adik-adik sampai pukul 9 malam. Sebelum diakhiri, seperti biasa selalu diadakan briefing dan evaluasi harian guna menyongsong esok yang lebih baik.
Di setiap pagi yang cerah, walaupun seringkali diiringi rintik hujan ringan dan jalan bebatuan yang super licin, mereka tetap semangat. Betapapun jalan itu becek dan hujan mengguyur, mereka usahakan untuk pergi ke rumahnya bu Ai demi menikmati hidangan lezat asinan ikan dan sambal bu Ai yang khas. Jeritan perut yang keroncongan itu terobati dengan hidangan di pagi hari diiringi obrolan seru yang didalangi oleh Kak Uning. Obrolan seputar remaja itu selalu ia buka dengan renyah. Suasana makan pun terasa cepat sekali. Sebelum pergi beraktivitas seperti biasa, Kak Agung membuka briefing. Mbak Siti Pangestutik (Tuti), volunteer asal UNNES bertindak sebagai pengatur materi (kurikulum pembelajaran). Setiap hari ia membuat satu tema dengan beberapa kompetensi dasar. Selebihnya diserahkan kepada kreativitas volunteer.
Pada prinsipnya mengajar di sekolah dasar tidak mengejar dan menuntut siswa untuk bisa. Langkah pertama yang ingin diraih, khususnya oleh aku sendiri, yaitu menumbuhkan rasa suka dan senang ketika belajar. Oleh karena itu aku selalu membuat penyampaian materi pembelajaran dikemas dengan menggunakan cerita dan permainan. Dengan bercerita, si anak akan mampu berimajinasi dan akan terbangun kontak batin antara pengajar dan murid. Kadang kala aku memanfaatkan boneka yang tersedia di seperangkat Iqropolly. Setiap volunteer mempunyai karakter dan kemapuannya masing-masing dengan teknik mengajar yang unik.
Para volunteer juga merasakan kebahagiaan bisa bertemu dengan anak-anak yang menyambut kedatangan kami dengan suka ria. Ketika para volunteer memperkenalkan diri satu per satu, terlihat guratan ceria di wajah mereka. Senyum manis Imas (kelas 2), Rohmi (Kelas 5), Miftah (kelas 4), Ujang (kelas 1), Eka (kelas 3), dan Heti (kelas 6) selalu membuat kami senang. Menyatu dengan dunia mereka adalah suatu harta yang sayang jika tidak dimanfaatkan secara baik. Masa kanak-kanak adalah masa pertumbuhan di mana mereka dapat menangkap pelajaran dengan mudah. Di kelas, kami banyak bermain dengan mereka lewat berbagai macam tepukan seperti tepuk semangat, tepuk salut, dan lainnya. Ada juga nyanyian-nyanyian ceria seperti ikan buntal, aku sudah mandi, dan sedang apa. Ada juga joget-joget gembira seperti senam tekjing, marina menari, dan permainan jari tangan.
Menjelang pukul setengah 12 siang, kegiatan belajar mengajar dibubarkan. Para siswa berbaris rapi dan menyalami para volunteer. Tim Iqropolly menuju masjid, mempersiapkan diri untuk sholat dzuhur. Setelah sholat, kemudian makan siang di rumahnya Bu Ai dan kembali lagi ke masjid untuk mengadakan breafing. Di siang itu tim Iqropolly berkumpul untuk mendiskusikan agenda berskala luas, yaitu agenda yang melibatkan masyarakat setempat. Satu per satu mengemukakan pendapat dan menjelaskan usulan program yang diusung. Kak Uning, sekretaris panitia mencatat setiap gagasan yang dikemukakan kemudian kumpulan gagasan itu dikaji kembali di akhir hingga mengerucut menjadi dua agenda yang mungkin dilaksanakan 2 pekan ke depan. Agenda pertama adalah penyuluhan vertical garden dan parenting. Agenda ini digagas oleh Mbak Tutik dan Kak Sukron Makmun. Untuk menyukseskan agenda ini hanya diperlukan bambu berdiameter besar dan benih tanaman dengan akar yang tidak terlalu besar. Sementara acara penyuluhan parenting dibebankan kepada Mbak Tutik sebagai pemateri.
Agenda kedua adalah pembuatan tempat sampah di berbagai titik. Agenda ini diusung oleh Kak Cahyo. Ia mengamati lingkungan sekitar yang cukup kotor dengan sampah yang berserakan. Hal ini disebabkan karena ketidaktersediaannya tempat sampah. Para volunteer pun kebingungan ketika mau membuang sampah dan menjadikan saku celana sebagai tempat sampah sementara. Tempah sampah ini rencananya akan dibuat dari bahan bekas ataupun bambu, dan proses pembuatannya melibatkan para pemuda.
Bahasan yang kedua adalah sosialisasi terhadap masyarakat sekitar. Agenda sosialisasi ini dianggap penting untuk menjalin tali silaturahim sehingga agenda ini terkesan friendly dan merakyat. Seringkali agenda mahasiswa yang melaksanakan agenda kemasyarakatan berbuat semena-mena, sombong, dan tidak menyapa masyarakat. Bu Ai pun pernah menyampaikan hal itu. Ada salah satu kampus yang melaksanakan agenda KKN di daerahnya dengan berlaku sombong dan sok mahasiswa. Setelah disepakati, kegiatan sosialisasi itu dilaksanakan di setiap siang hari setelah makan siang. Agenda ini baru akan dilaksanakan keesokan harinya.
Hari demi hari berlangsung dengan kegiatan rutin dan pokok program berupa permainan Iqropolly. Selang beberapa hari, kegiatan sosialisasi masyarakatpun dilaksanakan. Tim Iqropolly dibagi menjadi beberapa kelompok untuk disebar di berbagai tempat.
Di penghujung akhir pekan, tepatnya hari Minggu, tim Iqropolly mengadakan perjalanan menuju Baduy dalam yang diarahkan oleh Pak RT. Baduy dalam terdiri dari 3 kampung yaitu Cibeo, Cikertawana, dan Cikeusik. Adapun hari ini mereka akan mengadakan perjalanan menuju Cibeo. Baduy dalam adalah daerah suku Baduy yang masih asli dan orisinil memegang kepercayaan adat leluhur. Peraturan-peraturan adat selalu ditaati secara turun temurun. Di antara larangannya adalah tidak boleh menggunakan listrik, tidak boleh beralas kaki, tidak boleh pacaran, tidak boleh pindah agama dari kepercayaan asli mereka yaitu Sunda Wiwitan, dan tidak boleh mengenyam pendidikan.
Pemegang kekuasaan tertinggi suku ini ada di tangan pu’un (kepada adat). Ialah yang menjodohkan suku baduy secara otoriter dan tidak ada tawar menawar. Ketika ada penduduk yang melanggar maka akan di keluarkan dari wilayah baduy dalam.
Perjalanan ini yang sangat memanjakan mata karena sepanjang perjalanan disuguhi perbukitan, hutan rindang, dan jembatan bambu yang dirakit tanpa paku. Keasrian alam masih sangat terjaga dan penduduk sangat bersahabat dengan alam.  
Sesampainya di kampung Cibeo, kami mengunjungi salah seorang rumah penduduk, bercengkerama dan makan-makan. Aku sempat bertanya kepada salah seorang remaja berusia 21 tahun yang menikah di usia 17 tahun, apakah ia betah tinggal di hutan seperti ini. Ia dan penduduk yang lain merasa betah tinggal di hutan seperti ini karena bisa hidup menyatu dengan alam, hidup dengan ketenangan dan keasrian.
Adapun mata pencaharian pokok mereka selain bercocok taman adalah menjual pernak-pernik oleh-oleh yang mereka buat sendiri dari hasil hutan seperti gelang, gantungan kunci, gelas, tas, dan ikat baduy.
Setelah kenyang berwisata budaya, tim Iqropolly pulang kembali ke basecamp melewati lika-liku jalan yang licin dan becek menyisakan sepatu yang tebal bertanah, celana kotor terciprati air comberan dan baju basah oleh keringat bercampur air hujan.
Senin di pekan kedua kembali berjumpa. Rangakaian aktivitas formal harian berjalan seperti biasanya. Kedekatan para volunteer dengan adik-adik kian erat hingga satu per satu karakter unik mereka aku hafal. Seperti semangat belajar Ujang yang menggebu walaupun seringkali ia tidak punya bekal uang jajan. Senyum manis Imas ketika belajar dan sifat periangnya yang khas. Kecerdasan Miftah, seorang anak pak Ustadz yang tak ada duanya di MI Masyarikul Huda. Dan masih banyak kenangan lainnya.
Di penghujung acara, tim panitia mengadakan permainan Iqropolly raksasa di mana para pemainnya ada 10 kelompok yang tiap kelompoknya terdiri dari 4 orang responden yang dibina oleh para volunteer. Kegiatan pamungkas ini sangat meriah karena tidak hanya responden yang boleh bermain, melainkan seluruh siswa MI. Setiap kelompok mempertunjukkan kebolehannya dan menampilkan ilmu yang didapat selama seminggu ke belakang dan dimeriahkan dengan yel-yel menarik.
Keesokan harinya, Kamis tanggal 25 Januari 2018 tim volunteer mengadakan perhelatan akbar bernama Gebyar Iqropolly yang berisikan penampilan para siswa MI dan penganugerahan nominasi siswa. Dalam acara itu juga diselenggarakan acara penyuluhan parenting yang dilaksanakan di ruang kelas MTs Alam Wiwitan. Acara ini disambut dengan antusiasme para ibu yang ditandai dengan meluapnya jumlah pengunjung. Adik-adipun bersuka ria karena mendapat hadiah doorprize dan berbagai penghargaan. Tentunya kebahagiaan yang tim Iqropolly berikan ini adalah sebagai bentuk pamitan kita kepada masyarakat. Di penghujung acara gebyar Iqropolly ini ditutup dengan pengumuman Duta Iqropolly, dan terpilihlah seorang putra dan putri dari MTs Alam Wiwitan untuk mengemban amanah membangun komunitas Iqropolly. Di penghujung acara, ada pemutaran video selama kegiatan. Dan terakhir, seluruh volunteer dan panitia mempersembahkan sebuah lagu berjudul “Semua Tentang Kita”. Lagu itu berhasil membuat adik-adik mengeluarkan air mata kesedihan yang membuat panitia juga merasakan kesedihan. Ada kenangan yang mengangkut di antara kita dan mereka. Siang itu kesedihan tumpah di antara kita.
Di hari yang sama, program kerja pembuatan tempat sampah dilaksanakan dengan melibatkan sebagian kecil pemuda. Tadinya program vertical garden juga akan dilaksanakan di hari yang sama. Namun karena ada kendala berupa tidak tersedianya bambu yang berdiameter besar sehingga tidak layak untuk digunakan media bercocok tanam.
Pada malam harinya, tepat ketika pembacaan tadarus di juz terakhir, diadakan acara khataman Al-Qur’an dan dilanjut dengan makan-makan. Acara khataman itu didesain sebagai acara farewell tim Iqropolly yang dihadiri tokoh masyarakat seperti Pak RT, ketua kepemudaan, guru-guru MTs, dan Bu Ai beserta suaminya Pak Ahmad. Di malam itu bu Ai menyampaikan pesan dan kesan untuk para tim Iqropolly. Setelah acara formal selesai, dilanjut makan malam dengan menu istimewa yaitu nasi tumpeng. Seusai makan, panitia melanjutkan acara dan memberikan sebuah kejutan berupa pengumuman volunteer terbaik. Semua volunteer terkejut karena dari sejak awal tidak terbayang akan ada penganugerahan volunteer terbaik. Semakin terkejut lagi ketika volunteer terbaik itu jatuh kepadaku dan Mbak Tutik dari UNNES. Aku tak habis pikir bisa terpilih. Tapi bagaimanapun juga tetap aku syukuri. Acara farewall ini ditutup dengan foto bersama.
Jumat pagi dilaksanakan postest bagi 40 responden. Sehabis sholat Jumat dilanjut packing untuk persiapan pulang kembali ke Bogor. Keesokan harinya, Sabtu tanggal 27 Januari, tim Iqropolly pulang menuju Bogor.
Sebuah kegiatan dakwah yang tidak akan pernah hilang di ingatan walaupun ditelan waktu. Tanah baduy menjadi saksi perjuangan kita berdakwah di tengah gempa yang melanda, hujan yang tak enggan reda, dan badai yang mengamuk. Tapi itu tak seberapa dibanding dakwah sesepuh di kampung ini, yaitu Bu Ai Dewi. Pelajaran yang aku dapat dari tanah Baduy tentang cinta alam dan ketulusan akan selalu aku ingat. 




[1] Baduy dalam terdiri dari 3 kampung, yaitu Cibeo, Cikeusik, dan Cikertawana
[2] Buat apa masuk Islam. Orang Islamnya pun banyak yang meninggalkan sholat. Urus saja dulu Islam kamu.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Political Economy of Palestine: Critical, Interdisciplinary, and Decolonial Perspective

Strategi Pemuda dalam Memberantas Hoaks di Era Milenial Inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 9-26

MENANAMKAN PENDIDIKAN PROFETIK PADA MAHASISWA GUNA MEMBENTUK MAHASISWA TELADAN UMMAT (Essay by Fadlan S)