Bahasa Rindu (sebuah cerpen karya Fadlan S)


Di serambi masjid lantai dua, Hari biasa memandang gugusan bintang, menghabiskan waktu hanya untuk berkontemplasi. Ketika santri lain tertidur, matanya terbuka memandangi wajah malam. Sabit berdiri gagah. Dingin memeluk sepertiga malam. Sorban putihnya terkalung di lehernya untuk menepis dingin yang menusuk kulitnya. Kopiah songkok menutupi rambunya. Tatapannya terpaut pada satu bintang.
“Wahai Tuhan pencipta bintang yang tak terkalahkan gemerlapnya, apakah pondok ini benar mengantarkanku menuju jalan-Mu? Sudah sekian purnama aku menjadi anggota pondok namun belum menenangkan rasaku.”
Hari mengalihkan pandangannya menuju sabit yang gagah.
“Wahai Tuhan pencipta gagahnya sabit, sampaikan salamku untuk ayah ibuku.”
Tetesan sebening kristal menetes dari matanya.
Hari merasa terpenjara dalam sebuah pondok yang tak dikehendakinya. Ayah dan ibunya seolah menelantarkan Hari dalam kehidupan sengsara. Ia tak sebebas dulu di kampungnya. Peraturan ketat membuatnya sulit bergerak. Iapun harus berkamuflase dan menjadi bunglon di antara ribuan santri. Sorban terlilit di lehernya, bersarung dan berkopiah. Namun ia belum menemukan titik terang perantauannya.
Ketika dahulu ia bisa bebas main band, kini ia harus tertunduk pada sebuah Al-qur’an. Jika lagu-lagu terbaru giat dihafalkannya, kini ayat demi ayat sucilah harus dihafalnya. Perempuan pujaan hatinya harus terlepas dari kehidupannya. Teman-teman di kampungnya kini berjauhan dengannya. Bukan berjauhan, sebenarnya. Hari hanya berkelana sebatas waktu studi untuk mencari ilmu, memperluas pergaulan, menambah guru dan pengalaman. Jauhnya ia dengan teman-temannya di kampung hanya alasan-alasan saja, padahal sebenarnya setiap semesteran ia bisa bertemu.
Pondok membuatnya terus berkontemplasi. Secara tidak langsung dan tidak dirasakan Hari, pondok mengajarkannya untuk menjadi dewasa. Pekerjaan siapakah mencuci pakaian? Pekerjaan sang istri bagi suami, pekerjaan ibu bagi sang anak, pekerjaan kakak perepuan bagi sang adik. Namun seorang santri terbiasa mencuci pakaiannya sendiri, menjemurnya dan melicinnya. Kalau dalam satu minggu saja tidak mencuci, santri tak bisa menutupi auratnya kecuali tubuhnya gatal-gatal mengenakan pakaian yang tak diganti-ganti.
Berbagai macam kegiatan pondok menyibukkannya dan menjadikannya berpikir kritis untuk mengatur waktu. Bermacam pelajaran harus ditekuni, minimal di atas rata-rata dan tidak mengulang ujian. Acara pondok seperti kegiatan latihan berpidato, tadarrus, kajian kitab ataupun masalah keorganisasian. Semuanya tak mungkin dilewatkan seorang santri kecuali ia dihukum oleh bagian keamanan dan pendidikan. Satu dua kali Hari masuk mahkamah (persidangan). Namun tak apa, hal itulah yang membuatnya terkesan dari sebuah kehidupan di pondok. Rasanya kurang lengkap jika tidak merasakan apesnya dihukum.
Kegiatan belajar mengajar di sekolahpun sangat menyita waktunya. Seharian penuh ia harus terduduk di kursi menyimak proses transfer ilmu dari guru. Bahkan sampai sore menjelang. Dua tiga kali tertidur di sekolah tidak mengapa. Itu hanya sebagai pelengkap bagi penyandang status santri untuk cerita di masa nanti. Tapi jika sering bermalasan, tertidur di kelas dan tidak mengikuti kegiatan pondok seperti Hari, itulah yang menjadi masalah.
Hari tampak seperti orang yang dililit hutang. Ia tidak menemukan titik terang untuk membayarnya. Berkali-kali ia menunduk di atas sebuah buku, namun pikirannya entah ke mana. Makan dan minum sudah tidak bernafsu. Namun tubuh tambunnya tidak berubah, itu keturunan. Dari sekian banyak teman-temannya, hanya satu dua yang bercakap dengannya. Rasa rindu yang berlebihan itu membuatnya sulit bergerak.
Itulah bahasa rindu yang ada di hati Hari.
Namanya Yasin, temannya Hari. Ia berbeda dalam menyikapi sebuah kerinduan. Katika rasa rindu itu menerpanya di pondok, ia lampiaskan dengan belajar yang ganas. Satu detik saja ia lepas dari buku atau Al-qur’an di tangannya, ia langsung teringat orang tua. Belajar adalah amanah dari orang tuanya. Rindu itu terobati ketika Yasin melaksanakan amanahnya. Ia serasa dekat, serasa dipeluk oleh orang tuanya. Ia yakin bahwa dengan melaksanakan amanahnya, orang tuanya akan tersenyum.
Itulah bahasa rindu yang ada di kamus Yasin, rindu yang menginspirasi.
Amir? Ia tak begitu kenal dengan bahasa rindu. Setahunya rindu hanya satu dari sekian rasa dalam hidupnya yang tak berlabuh lama di hatinya. Rindu hanya sebatas rasa kangen setelah lama tidak bertemu. Amir sangat mudah menepis rindu karena rasa rindu itu tak akan mendatangkan apa yang dirindukan. Hanya buang-buang waktu saja. Lagipula pada hakikatnya kita tidaklah sendirian. Bahkan ketika kamu merasa terasingkan dan merasa hanya kau yang ada di dunia, engkau pun tak sendirian. Manusia pada mualnya adalah sendirian dan akan kembali dalam keadaan sendirian. Mengapa harus menyimpan rindu?  

---0---

Comments

Popular posts from this blog

Political Economy of Palestine: Critical, Interdisciplinary, and Decolonial Perspective

Strategi Pemuda dalam Memberantas Hoaks di Era Milenial Inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 9-26

MENANAMKAN PENDIDIKAN PROFETIK PADA MAHASISWA GUNA MEMBENTUK MAHASISWA TELADAN UMMAT (Essay by Fadlan S)