Fun Game Literacy: Jurus Penangkis Hoaks di Era Milenial

Fun Game Literacy: Jurus Penangkis Hoaks di Era Milenial
Oleh : Firdan Fadlan Sidik


Jika Anda tidak membaca koran, Anda tidak akan mendapat informasi. Tapi jika Anda membaca, Anda akan mendapat informasi yang salah.[1]
Demikianlah ungkapan seorang aktor bernama Denzel Washington ketika diwawancarai terkait Pemilu Presiden 2016 di Amerika Serikat. Ia mengutarakan bahwa informasi hoaks kian marak. Saat ini media menjadi barometer informasi yang pertama, namun bukan yang terbenar. Menurut data Google News, terdapat 72 juta konten artikel yang dirilis pada tahun 2016, atau setara dengan 200 ribu hingga 300 ribu artikel per hari. Banyak berita bertebaran, namun kebenaran fakta sulit dipastikan. Fenomena hoaks bukan sebuah fenomena regional, melainkan global. Hanya dengan satu klik, berita hoaks menyebar ke seluruh penjuru dunia.
Meski istilah hoaks sedang nge-tren dalam dekade terakhir ini, namun faktanya telah ada sejak ratusan tahun silam. Psikolog Inggris, Robert Nares mengatakan, istilah hoax (Indonesia : hoaks) muncul pada abad ke-18 yang merupakan pelebaran dari kata ”hocus” yang berarti “to cheat”. Hoaks adalah praktik kecurangan dalam ranah jurnalis. Salah satunya disebabkan karena mengejar tanggal ataupun oknum provokator dan penghasut yang menjadikan berita sebagai ranah komersial. Seperti yang terjadi di Veles, kota kecil di Macedonia[2] dengan populasi 45 ribu orang. Kota ini menghadirkan lebih dari 140 situs politik untuk Amerika Serikat seperti TrumpVision365.com, WorldPoliticus.com, dan DonaldTrumpNews.co. Semua website ini adalah situs berita hoaks yang mendukung kampanye Donald Trump untuk menjatuhkan Hillary Clinton sebagai pesaingnya.
Fenomena maraknya hoaks jelang pemilu tidak hanya terjadi di Amerika. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Dilansir dari media kompas.com, Komunitas Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) berhasil mengidentifikasi dua situs penyebar berita hoaks. Septiaji Eko Nugroho, inisiator komunitas tersebut, dengan gamblang menyebut nama situsnya, yakni pos-metro.com dan nusanews.com.[3] Menurut hasil telaah komunitas tersebut, setidaknya ada dua mahasiswa yang diketahui sebagai pihak pembuat portal berita hoaks tersebut.
"Bangsa kita yang tidak hobi membaca buku ini tiba-tiba dicekcoki dengan banjir informasi di ranah digital. Dan karena sifat dasarnya suka berbincang, maka informasi yang diterima itu lalu dibagikan lagi tanpa melakukan verifikasi," Ungkap Deddy Mulyana, guru besar Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran Bandung. Itulah yang menyebabkan hoaks yang marak di Amerika tidak semasif di Indonesia karena Amerika telah melewati tradisi literasi sebelum masuk era sosial media. Karakter asli masyarakat Indonesia yang dinilai tidak terbiasa berbeda pendapat atau berdemokrasi secara sehat menyebabkan hoaks mudah ditelan mentah-mentah. Kebanyakan masyarakat tidak terbiasa mencatat dan menyimpan data sehingga sering berbicara tanpa data. Di sisi lain, masyarakat lebih senang membahas aspek-aspek yang berkaitan dengan kekerasan, sensualitas, drama, intrik dan misteri.

Literasi Penangkis Hoaks
Saat ini Indonesia menjadi sasaran empuk penyebaran berita hoaks. Faktanya, data survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2016 menyebutkan bahwa jumlah pengguna Internet di Indonesia tahun 2016 adalah 132,7 juta atau sekitar 51,5% dari total jumlah 256,2 juta penduduk Indonesia. Data yang kian meningkat ini menjadikan maraknya internet di Indonesia sulit dielak.  Edukasi dan pembinaan literasi kepada masyarakat sangatlah penting guna menciptakan masyarakat yang melek informasi sehingga tidak mudah terpengaruh dengan berita hoaks. Dibutuhkan suatu budaya membaca untuk menangkal hoaks yang menyusup ke media.
Indonesia memasuki masalah genting mengenai penyebaran informasi. Internet telah membuka arus informasi selebar-lebarnya. Sebuah informasi dapat terserap oleh seseorang, disebarkan dengan cara online ataupun offline, dan akhirnya menjadi viral, terlepas benar atau tidaknya berita tersebut. Minat baca masyarakat Indonesia sangat rendah sehingga sangat sedikit kemungkinan untuk memverifikasi kebenaran informasi yang didapat.
Angka yang mencuat pada tingkat pengguna internet di dunia ini tidak dibarengi dengan tingkat literasi yang memadai. Ketika menjadi pembicara talkshow interaktif di Kantor Kemendikbud pada tanggal 9 Maret 2017, Dirjen PAUD Dikmas, Harris Iskandar mengungkapkan bahwa masyarakat harus memiliki budaya literasi agar bisa menghadang bonus demografi dan Pasar Bebas ASEAN (MEA) pada tahun mendatang. Menurutnya, setidakanya ada empat kompetensi dasar yang  agar bisa bertahan pada abad ke-21, yaitu berpikir kritis, kreativitas, komunikasi dan kolaborasi.
Rendahnya tingkat literasi berakar dari rendahnya minat baca. Berdasarkan data penelitian yang dilakukan oleh Central Connectitut State University pada bulan Maret 2016, terkait World Most Literate Nations menyatakan bahwa Indonesia menempati peringkat 60 dalam hal kebiasaan membaca masyarakat di dunia.
Secercah Cahaya Harapan di Balik Masalah
Di balik sajian data minat baca yang mengenaskan, terdapat suatu kekuatan dari sebuah potensi yang tengah tertidur. Jika kita jeli melihat kepingan-kepingan gerakan kecil dan mengkolaborasikannya menjadi sebuah inovasi, maka Indonesia punya secercah harapan untuk berlari. Dilansir dari website Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan bahwa Indonesia adalah "raksasa teknologi digital Asia yang sedang tertidur". Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta jiwa adalah pasar yang besar. Pengguna smartphone Indonesia juga tumbuh pesat. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Game Literacy, Solusi Inovatif Era Millenial
Angka pengguna ponsel pintar dan internet serta durasi penggunaanya yang membubung tinggi di Indonesia menjadi sebuah kendala untuk meningkatkan minat baca, apalagi budaya membaca. Buku-buku di perpustakaan kian redup oleh mbah google yang keabsahan infonya perlu ditinjau ulang. Namun jika kita lebih jernih untuk melihat kendala yang ada, sebenarnya terdapat potensi untuk membangun minat baca. Terdapat suatu inovasi yang diusung penulis, yaitu Fun Game Literacy, sebuah kombinasi pemahaman multi dimensi dari berbagai teknik penggunaan media ( seperti : membaca, menulis, mendengarkan, menonton ) pada sebuah permainan (game)[4]. Menurut survei yang dilakukan oleh Dr. Tanya Byron menyatakan bahwa 7% anak remaja di UK menghabiskan lebih dari 30 jam seminggu untuk bermain game.  Di Indonesia, walaupun belum ada data survei yang mendukung, faktanya secara kasat mata kita temukan di kalangan masyarakat menengah atas, seorang anak yang ditinggal oleh ayah dan ibunya bekerja di luar rumah telah terbiasa “dipersenjataioleh sekian banyak gadget dan permainan digital. Sangat disayangkan jika tidak mengambil kesempatan untuk meraih periuk kemanfaatan di balik fakta yang mencengangkan.
“A game is a problem solving activity approached with playful attitude” Itulah yang diungkapkan oleh Jesse Schell, seorang designer game, video sekaligus professor dalam bidang entertainment technology. Permainan merupakan jawaban solutif untuk memecahkan suatu masalah. Dalam hal ini adalah rendahnya tingkat literasi dan budaya baca sehingga fenomena hoaks kian melebur di tengah masyarakat yang belum terbiasa menggali informasi dari sumber yang valid.
Konten Fun Game Literacy ini adalah video-video literasi (video game) dan berbagai permainan literasi online. Sampai saat ini, video game masih terlupakan oleh pemerintah Indonesia di sisi industri entertainment. Tak ada lembaga resmi yang mengawasi konten dan tak ada pula campur tangan pemerintah dalam mendorong industri game asli Indonesia. Akan lebih baik jika game literacy digalakkan guna menumbuhkan minat baca pada anak-anak, bahkan semua kalangan.
Sosialisasi fun game literacy dapat dimulai dari lingkungan tetangga terdekat, di tataran RT dan RW, sekolah, dan kampus. Lewat berbagai workshop, diskusi, seminar, dan sarasehan, publik diajak mengenal lebih dekat apa itu fun game literacy. Di kampus, dosen dan mahasiswa didorong untuk memperlakukan video game sebagai bagian dari geliat sains dan tak semata sebagai sarana hiburan pengisi waktu senggang.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Dimas, Maulana.  Penggunaan Media Permainan Sebagai Upaya Membangun Literasi Dini.
2.      ELINET. (2016). ELINET Position Paper on Digital Literacy. Europan Literacy Policy Network.
3.      Muhammad Kharizmi (2015). Kesulitan Siswa Sekolah Dasar Dalam Meningkatkan Kemampuan Literasi. Jupendas Vol. 2
4.      Yanse, Eddy. Bermain Sebagai Baca Tulis Jaman Sekarang : Universitas Pelita Harapan
5.      https://www.kominfo.go.id diakses pada hari Kamis, 12 April 2018 pukul 06.51
6.      https://id.m.wikipedia.org/wiki/Republik_Makedonia diakses pada hari Jumat, 6 April 2018 pukul 13.38





[1] Koran kompas Juli edisi (3/5) 2016
[4] Eddy Yansen, Bermain Sebagai Baca Tulis Jaman Sekarang. Universitas Pelita Harapan 

Comments

Popular posts from this blog

Political Economy of Palestine: Critical, Interdisciplinary, and Decolonial Perspective

Strategi Pemuda dalam Memberantas Hoaks di Era Milenial Inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 9-26

MENANAMKAN PENDIDIKAN PROFETIK PADA MAHASISWA GUNA MEMBENTUK MAHASISWA TELADAN UMMAT (Essay by Fadlan S)