Dari Persamaan Menuju Persatuan

Dari Persamaan Menuju Persatuan
Oleh : Firdan Fadlan Sidik

Islam adalah agama mayoritas yang memiliki pengaruh kuat dan kontribusi yang banyak terhadap sejarah di Indonesia. Islam mempunyai magnet kekuatan di mana kedamaian, ketenangan dan ketentraman dapat diciptakan dan dirasakan. Islam yang moderat dan rahmatan lil’alamin tampak tercermin dalam dunia dakwah Islam, khususnya Indonesia yang terkenal dengan dakwah tanpa pertumpahan darah. Sejarah walisongo menjadi panutan para ulama Indonesia untuk berdakwah, yaitu dakwah kultural di mana Islam tidak menyingkirkan budaya namun justru sebaliknya. Islam yang relevan terhadap segala zaman dan berbagai tempat membuat kedatangannya selalu disambut baik oleh budaya dan tradisi masyarakat. Ia tidak merombak-rombak tatanan masyarakat dan tidak menjajah eksistensi budaya lokal. Inilah yang membuat ciri khas Islam Indonesia di mata luar dengan peradaban Islam damai tanpa gejolak perpecahan dan pertumpahan darah.
Islam di Indonesia patut dijadikan sebagai rujukan negara dengan tingkat tolerasni tinggi. Pemerintah Indonesia memberi jaminan kepada setiap golongan masyarakat untuk memeluk kepercayaannya dengan aman dan dilindungi undang- undang. Tidak ada diktator mayoritas dan tirani minoritas. Semua agama dituntut untuk saling menghormati agama lain, menghargai hak dan kewajiban masing- masing, di mana hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain. Di antara prestasi Indonesia dalam hal kerukunan umat beragama adalah penghargaan World Statesman Award dari organisasi nirlaba Appeal of Conscience Foundation (ACF) asal Amerika Serikat pada masa presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penghargaan ini diberikan atas keberhasilan presiden SBY dalam menciptakan kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Agama Buddha yang jumlah pemeluknya hanya 1% dari jumlah penduduk Indonesia pun hari rayanya dijadikan sebagai hari libur nasional. Adapun hari raya Idul Fitri di negara minoritas Islam seperti Thailand dan Myanmar tidak diakui hari rayanya.
Keberagaman agama di Indonesia sangat sejuk dipandang mata. Tidak asing lagi bagi kita melihat persahabatan antara seorang Muslim, Kristen dan Buddha dari suku Jawa, Batak, Sunda, Minang dan Tiongkok yang awet tanpa pertikaian. Grace


Olivi Sihombing, seorang mahasiswi bersuku Batak merasa nyaman bersahabat dengan mereka. Diatherman Anggen pun merasa senang walaupun dirinya berkumpul bersama rekan kerjanya yang mayoritas Muslim. Kejadian sepasang pengantin Kristen yang akan menikah di gereja Katedral dipayungi oleh seorang Muslim yang mengikuti aksi 212 dan pasukan pun memberi jalan untuk pengantin lewat. 150 orang pemuda Nasrani yang turun tangan menjaga ketertiban shalat Ied di Kabupaten Puncak, Papua adalah realita yang sangat mengaharukan. Tiga tempat ibadah yang berdiri berdampingan yaitu klenteng Shen Mu Miaw, pura Jagadnatha Surya Kencana dan vihara di Tanjung Bunga, Kota Pangkalpinang menjadi pemandangan indah selain pemandangan perbukitan hijau yang menyejukkan mata. Dan masih banyak lagi potret pemandangan pluralitas Indonesia yang sejuk lainnya.

Akar masalah


Indonesia sudah dipandang dewasa dalam menyikapi keragaman agama dengan diperkuat oleh beberapa penghargaan dunia dan realita yang kita lihat di masyarakat. Tidak ada masalah kronis dalam hal ini. Namun ada hal lain yang terabaikan, yaitu konflik internal agama itu sendiri yang justru masalahnya akan berujung kronis. Suatu umat beragama yang sama tentu mempunyai tujuan dan sistem beribadah yang sama. Perbedaan di dalamnya pun tidak lagi disebut aneh karena akal manusia memang terbatas dalam memahami wahyu Tuhan. Kita tidak dapat memungkiri bahwa pemahaman agama Tuhan tidak akan pernah ditangkap secara sempurna oleh akal manusia. Alhasil perbedaan pun menjadi fitrah manusia dan fitrah agama. Suatu golongan bisa saja menganggap amalan ini baik dan beriwayat mutawatir. Dalam perspektif golongan lain mungkin dianggap tidak. Sebenarnya hal ini tidak perlu diresahkan masyarakat umat beragama. Namun karena kedangkalan ilmu, klaim dirinya paling benar pun merasuki jiwa mereka dan pertikaianpun terjadi.
Strategi untuk menumpahkan perpecahan yang muktahir adalah dengan menghadirkan konflik internal agama. Sejarah telah membuktikan hal ini. Portugis mencampurtangani urusan internal Kerajaan Ternate. Sementara Spanyol mengintervensi urusan Kerajaan Tidore. Pertikaian pun terjadi di antara dua kerajaan itu. Mereka lupa dengan identitas kesamaannya sendiri, yaitu sama-sama


kerajaan Islam. Ambisi kekuasaan, harta dan tahta telah membutakannya sehingga peperanganpun bergejolak dan pihak luar tertawa-tawa menyaksikannya bagaikan mengasuh dua bocah tanpa dosa. Sejarah telah memberi aba-aba untuk tidak mengedepankan hawa nafsu dan senantiasa jeli terhadap jebakan-jebakan yang menghalang.
Islam sejak zaman sepeninggal Nabi Muhammad SAW memang dibangun berdasarkan pertikaian demi pertikaian. Konflik dan kekerasan hampir tidak pernah mereda dan menjadi fenomena kesejarahan. Perbedaan paham dan kepentingan kelompok untuk memperjuangkan kekuasaan menjadi pemicu terjadinya perpecahan. Adapun di Indonesia, walaupun terdapat ormas-ormas Islam, namun tidaklah separah konflik yang terjadi di negara lain. Secara garis besar terdapat dua golongan ormas Islam di Indonesia, yaitu golongan muslim puritan dan muslim kultural. Muslim puritan adalah kelompok muslim yang menganutt paham puritanisme, yaitu paham yang berusaha memurnikan ajaran Islam dari pengaruh luar (termasuk budaya) baik dalam bentuk keyakinan, pemikiran maupun praktik keagamaan. Organisasi yang bercorak seperti ini misalnya Muhammadiyah, PERSIS, jamaah salafi, MTA dan jamaah Tabligh. Sedangkan muslim kultural adalah muslim yang memandang budaya sebagai sarana berlangsungnya transformasi agama. Terutama di Pulau Jawa yang banyak diekspresikan melalui tradisi yang telah membudaya. Golongan muslim ini yang paling terkenal adalah Nahdatul Ulama (NU).
Di antara dua tipe ormas ini dapat ditarik dua golongan ormas yang paling besar dan berpengaruh di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU). Perbedaan-perbedaan yang ada mengakibatkan adanya jarak yang mencolok antara Muhammadiyah dan NU. Terlebih masyarakat awam agama yang mudah menjustifikasi bid’ah terhadap amalan Nahdiyyin, maupun sebaliknya mengecam tidak mengikuti sunnah Rasul terhadap Muhammadiyah. Seperti yang terjadi di Wonokromo, Bantul. Kehadiran seseorang yang bergolongan Muhammadiyah di tengah masyarakat NU menghasilkan diskriminasi sosial. Terlebih pada tahun 2002 ketika sedang terjadi pemilihan kepala desa. Hak suara pun sudah condong kepada golongan.


Dalam perspektif psikologi sosial, terjadinya aksi ketidakadilan di masyarakat berasal dari antagonisme kelompok. Menurut Taylor1 antagonisme kelompok tampak ketika anggota satu kelompok (in group) menunjukkan sikap negatif terhadap anggota kelompok lain (out group). Antagonisme kelompok memiliki tiga komponen yang saling terkait, yaitu stereotip (stereotype), prasangka (prejudice), dan diskriminasi (discrimination). Prasangka merupakan aspek yang paling destruktif dari perilaku manusia dan sering menimbulkan tindakan yang mengerikan.
Prasangka (prejudice) adalah sebuah sikap yang biasanya bersifat negatif yang ditujukan kepada anggota kelompok lain. Menurut Sears2 prasangka didefinisikan sebagai persepsi orang tentang seseorang atau kelompok lain, dan sikap serta perilakunya terhadap mereka. Newcom3 mendefinisikan prasangka sebagai sikap yang tidak baik dan dapat dianggap sebagai suatu predisposisi untuk mempersepsi, berpikir, merasa dan bertindak dengan cara-cara yang “menentang” atau “mendekati” orang lain, terurama sesama anggota kelompok. Beberapa definisi yang diungkapkan para ahli tersebut nampaknya ada kesamaan bahwa prasangka merupakan sikap sosial yang biasanya bersifat negatif, objek prasangkanya orang atau kelompok lain, dan sikapnya didasarkan pada keanggotaan suatu kelompok. Bentuk prasangka dapat terwujud dalam : pertama, stereotip, yaitu pemberian sifat tertentu terhadap seseorang berdasarkan kategori yang bersifat subjektif hanya karena berasal dari kelompok lain. Kedua, jarak sosial, yaitu perasaan yang memisahkan seseorang atau kelompok tertentu berdasarkan pada tingkat penerimaan tertentu, seperti ketidaksediaan untuk menikah dengan etnik lain, ketidakmauan menjadikan etnik lain dalam anggota klubnya, ketidakmauan menerima sebagai tetangga dan rekan kerja.
Permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah prasangka agama di mana sering menimbulkan konflik berkepanjangan, khususnya konflik sesama agama yang memiliki pemahaman atau organisasi keagamaan yang berbeda. Prasangka agama yang terjadi dalam Islam terjadi antara muslim tradisional dan muslim

1 Shelley E Taylor,dkk, Psikologi Sosial (terj.) Jakarta:Kencana 2009 h.210
2 Sears D. O,. Psikologi Sosial, Jilid II (terj.), (Jakarta:Salemba Humanika, 2009) h.226
3 Newcomb T.M., Psikologi Sosial, (Bandung: Diponegoro,1985), h.564


modern, antara muslim moderat dan muslim radikal, antara muslim kultural dan muslim puritan.
Dalam realita sosial, prasangka tidak mungkin bisa dihapus sama sekali. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengendalikan dan mengurangi prasangka di antaranya adalah belajar untuk tidak membenci, meningkatkan intensitas kontak antar kelompok, dan rekategorisasi atau melakukan perubahan batas antara ingroup dan outgroup-nya. Dengan kata lain tidak ada lagi kata “us (kami) dan they (mereka)” tetapi berubah menjadu “we (kita)”. Terkait hal ini (keberagaman Islam di Indonesia), Presiden Gus Dur menyikapi dan menjawabnya dengan ringan : Yang jelas sama, jangan dibeda-bedakan. Yang jelas beda, jangan di sama-samakan. Gitu aja kok repot. Kata-kata beliau sangat menginspirasi berbagai kalangan, khususnya umat Islam. Pemaparan beliau dapat kita pahami bahwa perbedaan kecil jangan terlalu diperhatikan kerena akan menghasilkan gesekan yang cukup kuat di antara dua golongan yang mempunyai suatu persamaan mendasar. Fokus kita tidak pada itu, melainkan pada penyinergian kekuatan antara berbagai kelompok dan ormas Islam untuk menghalau kekuatan dari luar. Jangan sampai kita sibuk sendiri berkutat dalam situasi internal agama sendiri sehingga membuat agama lain tersenyum-senyum bahagia melihat musuhnya bertengkar sendiri dan misi mereka terlancarkan. Lain halnya jika bersatu dalam perbedaan. Berbeda memang identik dengan kejelekan dan kontoversi. Namun jika perbedaan itu disatukan akan menjadi sebuah kekuatan tersendiri karena dengan perbedaan itulah kekurangan masing- masing akan terlengkapi.
Inilah yang menjadi PR bagi umat Islam untuk bersatu. Karena betapapun banyaknya umat Islam di Indonesia akan terlihat kecil jika dikotak-kotakan dengan perbedaan dan terputusnya tali silaturahim. Dengan berazaskan persamaan tujuan, sebuh organisasi dapat berjalan dengan baik. Dengan berdasarkan persamaan derajat, umat manusia dapat memperjuangkan haknya. Begitupun Islam. Dengan berlandaskan persamaan aqidah akan menumbuhkan persatuan, menyinergikan kekuatan dan membumikan kedamaian.


Referensi


Jurnal Islam IAIN Walisongo http://diglib.uin-suka.ac.id/1084/ diunggah pada hari Selasa, 14/11/2017 pukul 11:41
http://www.infoyunik.com/2016/08/inilah-surah-yang-buatumar-bin- khattab.html?m=1 diunggah pada hari Minggu, 12/11/2017 pukul 04:46

Comments

Popular posts from this blog

Political Economy of Palestine: Critical, Interdisciplinary, and Decolonial Perspective

Strategi Pemuda dalam Memberantas Hoaks di Era Milenial Inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 9-26

MENANAMKAN PENDIDIKAN PROFETIK PADA MAHASISWA GUNA MEMBENTUK MAHASISWA TELADAN UMMAT (Essay by Fadlan S)