Harmoni di Kota Toleransi



Kota Salatiga adalah kota pengembaraanku selama kuliah S1. Di kota itu terdapat dua kampus besar, yaitu Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) dan Universitas Islam Negeri (UIN) Salatiga. Kampus Kristen di Salatiga itu merupakan kampus yang bersejarah. Kehadirannya tidak terlepas dari estafet misionaris Kristen pada era kolonial.

Berbicara prestasi Kota Salatiga yang berkali-kali dinobatkan sebagai Kota Toleransi, sebetulnya sudah terjadi sejak era kolonial. Sebagai mahasiswa sejarah, saya pernah meneliti sejarah sosial masyarakat Muslim dan Kristen era kolonial di Kota Salatiga. Di samping itu, saya juga aktif berdiskusi dengan kawan saya, sejarawan yang beragama Kristen, asli kota Salatiga.

Sebagai kota tua, Salatiga telah merangkai sejarah toleransinya dengan ditandai tumbuh suburnya misionaris (zending) Kristen dan bersandingan dengan peradaban subur ulama dan santri di pinggiran Kota Salatiga. Kecamatan Tingkir merupakan wilayah Salatiga yang dikenal dengan basis santri dan tempat lahirnya ulama-ulama terkenal. Di sana terdapat makam KH. Abdul Wahid, kakek buyut Gus Dur. Juga beberapa ulama otoritatif lain seperti ulama ahli falak: KH. Zubair Umar Jailani, ulama Kristologi: KH. Humaidi Soleh, dan ulama pejuang: KH. Damarjati. Sejak era kolonial, masyarakat Muslim ditempatkan di Tingkir, pinggiran kota. Sedangkan wilayah kota dihuni oleh orang-orang Eropa yang kebijakannya selalu diskriminatif.

Ketika saya memaparkan penelitian saya soal Islam, dan kawan saya soal Kristen, kami sepakat dalam satu hal bahwa di Salatiga tidak terdapat pergesekan sosial-masyarakat meskipun sejak zaman dahulu hingga sekarang penduduk Salatiga sangat multi-kultur, multi-etnis, dan multi-agama. Pergesekan kecil tentu ada, dan kami menginterpretasikannya sebagai sebuah anomali dan oknum semata karena nyatanya pergesekan itu tidak berdampak signifikan.

Lebih mengerucut lagi, suasana toleransi sangat mendarah daging bagi masyarakat Salatiga. Kota itu seperti memang seolah dilahirkan untuk berbeda dalam banyak hal. Di lingkungan sekitar kampus saya, UIN Salatiga, mayoritas penduduknya adalah umat Kristen. Kami mahasiswa UIN selalu berjalan melewati rumah mereka tatkala berangkat pengajian ke masjid kampus. Sebagai pendatang, saya kagum dengan keramahan mereka yang selalu menyapa dan menebar senyum ketika berpapasan. Khususnya kepada pemilik warung depan kampus yang sangat terbuka dan selalu mengajak bercerita para pembelinya yang mayoritas mahasiswa UIN.

Pada tataran kampus, baik UIN maupun UKSW, selalu mewacanakan pentingnya toleransi dan menyelenggarakan seminar tentang toleransi. Misalnya di UIN Salatiga. Pada tahun 2018 menghadirkan Cak Nun, sosok ulama dan budayawan, dalam kegiatan Orientasi Mahasiswa Baru. Cak Nun mengungkapkan kekagumannya pada Kota Salatiga sehingga beliau menjuluki Kota Salatiga sebagai miniatur Kota Madinah. Keberhasilan Nabi Muhammad dalam mengelola masyarakat Madinah yang majemuk itu dinilainya berhasil diterapkan di Kota Salatiga.

Mahasiswa pun sangat apresiatif dan menguatkan nilai toleransi itu dengan mengadakan diskusi ilmiah. Saya aktif di komunitas Youth Interfaith Peacemaker Community (YIPC), sebuah komunitas Muslim-Kristen yang menyuarakan narasi perdamaian. Tidak hanya teori, komunitas itu juga aktif berkegiatan sosial umat Islam dan Kristen, tidak pada perayaan ibadah masing-masing.

Resep Toleransi dari Kota Salatiga

            Saya beruntung karena berkesempatan untuk meneliti kota yang unik ini. Kota kolonial berusia 1.272 tahun ini menyimpan sejarah toleransi yang mendalam. Penelitian saya berkesimpulan pada ungkapan Gus Dur: “Semakin tinggi ilmu seseorang, maka semakin besar rasa toleransinya.”

Peran tokoh agama dalam membangun kota toleransi sangatlah penting. Sebagai rujukan umat, pemuka agama harus memiliki wawasan yang luas dan komprehensif terhadap suatu agama.

Tokoh agama yang saya teliti adalah KH. Humaidi Soleh, ulama penting Nahdlatul Ulama yang aktif berjejaring dengan tokoh kolonial Belanda dan masyarakat Kristen. Ia mengabdi pada pemerintahan kolonial dan aktif bersosial karena ia menjabat sebagai penghulu yang harus mengayomi kebutuhan masyarakat. Demikianlah koran De Locomitief Belanda mewartakan beliau.

Dari informan lain saya menemukan dokumen berupa kitab Kristologi berjudul al-Intishor wat Tarjih li Dini Shohih, kitab karangan KH Humaidi Soleh yang diterbitkan di Mesir. Pengembaraan akademiknya dihabiskan di Mekah selama 10 tahun dan Mesir selama 7 tahun. Buku ini merupakan pemikiran mendalamnya soal agama Kristen setelah ia berdebat akademik dengan Paus di Vatikan.

Ketika saya berdiskusi dengan kawan saya, sejarawan lokal Salatiga yang beragama Kristen itu, dia menyebutkan bahwa sejak awal berkembangnya misionaris zending Salatiga, tidak ada pemaksaan dan kekerasan sosial sebelum pembaptisan warga lokal. Seorang pelopor misionaris bernama Elizabeth Jacoba Le Jolle-de Wildt menyebarkan misi Kristen melalui pendidikan dan pelayanan ekonomi. Dokumen arsip di kantor KITLV Jakarta menggambarkan adanya pendidikan umum bagi warga Salatiga yang diselenggarakan oleh minionaris.  Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pendekatan para misionaris Kristen Salatiga lebih bersifat humanis.

Dengan perbandingan fakta sejarah itu, saya dan kawan saya akhirnya berkesimpulan bahwa salah satu resep toleransi adalah kehadiran pemuka agama yang berwawasan luas dan komprehensif. Dia pun mengutarakan bahwa tokoh Kristen Salatiga era kolonial sampai sekarang yang menggerakkan yayasan sosial Kristen di Salatiga merupakan tokoh cendekiawan yang atas kedalaman ilmunya itulah ia aktif mengayomi masyarakat tanpa pandang bulu. Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin tidak ragu untuk bersikap toleran.

Penulis : Firdan Fadlan Sidik

Comments

Popular posts from this blog

Political Economy of Palestine: Critical, Interdisciplinary, and Decolonial Perspective

Strategi Pemuda dalam Memberantas Hoaks di Era Milenial Inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 9-26

MENANAMKAN PENDIDIKAN PROFETIK PADA MAHASISWA GUNA MEMBENTUK MAHASISWA TELADAN UMMAT (Essay by Fadlan S)