Ber-Toleransi sejak dari Hati



Terkadang banyak orang yang memahami suatu istilah dengan makna-makna yang ribet dan rumit. Sampai-sampai ia lupa untuk menengok makna paling sederhana dan paling erat kaitannya dengan sehari-hari.

Misalnya kata “toleransi”. Orang melihat bahwa toleransi adalah sebuah istilah dalam interaksi sosial yang bersifat rukun dan konstruktif di tengah perbedaan sosial. Ada beberapa variabel penting di dalamnya, yaitu “interaksi sosial” dan “perbedaan.” Dari pengertian ini lantas orang-orang berpikir bahwa toleransi hanya akan terjadi di lingkungan sosial yang multikultural. Lantas, bagaimana dengan masyarakat yang homogen? Apakah di daerah sana tidak mengenal kata toleransi?

Jika ditarik sudut pandang yang lebih luas, maka dua variabel di atas akan mendapat pemaknaan yang lebih esensial dan mendalam. Bahwa interaksi tidak hanya terjadi di alam sosial yang terbuka, melainkan dari interaksi personal dengan dirinya sendiri. Tentu setiap orang pernah dan sering berdebat dengan diri sendiri, bukan? Setiap orang pasti melibatkan hati nuraninya untuk diajak berpendapat sebelum menentukan sikap. Ada ego dan nurani yang selalu beradu pendapat. Ego kita selalu berusaha mengiring pada hal-hal yang menguntungkan diri pribadi. Sementara nurani selalu meniupkan jiwa sosial dan mempertimbangkan penerimaan orang lain.

Kemudian variabel “perbedaan” tidak harus mencakup golongan sosial, ras, suku, agama, maupun politik yang berbeda. Perbedaan itu sering kita temukan di sekitar kita dalam lingkup mikro yang berkelindan. Tentu di sekeliling kita banyak sekali perbedaan-perbedaan yang membuat kita harus berdebat dengan perbedaan itu. Perbedaan dengan kawan persahabatan, perbedaan dengan pasangan, dan perbedaan lainnya. Cara untuk “selesai” dengan perbedaan itu adalah dengan menggunakan konsep toleransi dimana seseorang harus mampu melihat suatu objek dari sudut pandang lawan bicara. Bersikukuh melihat suatu objek dari perspektifnya sendiri dan menghiraukan perspektif orang lain adalah sebuah hal yang naif dan tidak menyelesaikan masalah.

Ingat. Toleransi bukanlah hal yang pasif. Hanya sekadar menghargai perbedaan tanpa ingin tahu apa yang dipandang oleh orang lain saja tidak cukup. Toleransi pasif inilah yang kemudian dijuluki toleransi yang murah. Toleransi yang sesungguhnya adalah kita harus sampai pada memahami apa yang orang lain pahami hingga membuat kita berbeda.

Ada sebuah buku menarik berjudul Costly Tolerance. Buku ini menggambarkan fenomena toleransi dalam kehidupan dengan sepenuh pemaknaan toleransi yang utuh. Penulis mengatakan bahwa toleransi adalah tentang “mengatasi ego sendiri” seperti pada pepatah Maluku: “ale rasa beta rasa”, yang artinya apa yang kamu rasakan, saya juga merasakan.

Toleransi dapat terjalin ketika pluralisme menjadi struktur faktual realitas atau dengan kata lain menjadi sebuah ideologi yang meyakini keberagaman sebagai sebuah fitrah kehidupan. Pemahaman bahwa berbeda adalah sebuah keniscayaan membuat kita lebih yakin bahwa toleransi adalah sebuah keharusan. Dan faktanya di lapangan juga demikian. Semakin tinggi ilmu seseorang, ia akan semakin toleran. Demikianlah ungkapan Gus Dur, sosok Presiden RI yang menjadi pahlawan bagi semua kalangan umat beragama di Indonesia.

Nah, untuk memupuk jiwa toleransi harus dimulai sejak hati. Artinya, kita harus mampu menerapkan nilai-nilai toleransi di ruang-ruang yang paling dekat dengan kita. Di ruang keluarga, ruang persahabatan, maupun ruang kerja. Ketika kita menjumpai perbedaan-perbedaan di ruang-ruang itu, cobalah bersikap lebih bijak dengan memperluas perspektif ketika melihat sesuatu. Libatkanlah hati dan pikiran kita untuk merasakan apa yang hati mereka rasakan dan apa yang akal mereka pikirkan. Niscaya kita dapat bersikap toleran menyikapi perbedaan itu.

Misalnya kita dihadapkan dengan “gap education” atau kesenjangan pendidikan antara orang tua dan anak. Orang tua lahir dari orisinalitas kehidupan desa dan non pendidikan tinggi, sementara anaknya berkelana jauh dan berpendidikan tinggi. Ketika pulang kampung, pertemuan dua entitas yang gap education ini pasti bergejolak. Nah, pada ruang keluarga inilah yang membutuhkan praktik toleransi yang sesungguhnya.

Contoh lain, misalnya dalam relasi kerja. Setiap orang memiliki karakter yang berbeda-beda yang terbentuk dari genetika, pendidikan, dan lingkungan hidupnya. Misalnya si Koleris (tegas dan berkemauan keras) bertemu dengan si Plegmatis (cuek dan kalem) dalam sebuah lingkungan kerja. Ketika sebuah kepanitiaan mengharuskan mereka bertemu dan bekerja dalam tim, maka mau tiak mau mereka harus menyatukan persepsi agar target dan job mereka tercapai. Padahal di sisi lain, karakter mereka berlawanan dan memiliki kemungkinan yang destruktif. Pada kondisi seperti inilah teori toleransi itu perlu di praktikkan sehingga kekurangan yang mereka miliki tidak menghambat kerja dan kelebihan dari mereka diharmonisasikan.

Lebih daripada itu, toleransi juga harus diaplikasikan dalam ruang-ruang persamaan, tidak mesti harus selalu dalam perbedaan. Misalnya dalam kegiatan keagamaan. Setiap agama pasti memiliki paham dan mazhab yang berbeda sebagai sebuah keniscayaan bahwa manusia memiliki akal dan keterbatasan untuk memahami sebuah agama yang turun dari Tuhan. Maka bertoleransi sesama warga Muslim yang berbeda mazhab (ataupun ormas) juga merupakan sebuah keharusan. Jangan sampai alergi atau sensitif melihat perbedaan dalam hal ibadah yang bersifat furu’iyah (bukan hal mendasar). Kita yang misalnya berpaham harus memakai do’a Qunut dalam sholat Subuh jangan sampai agresif atau sensitif melihat saudara kita yang tidak memakai Qunut.

Masih banyak sisi kehidupan ini yang menuntut kita untuk mengharmonisasi perbedaan yang kita hadapi. Maka menumbuhkan jiwa-jiwa toleran itu sebetulnya harus dipupuk sejak dari hati. Toleransi harus dipupuk sejak dalam persamaan, tidak mesti dalam perbedaan. Bertoleransi di ranah global dan luas tidak akan tumbuh hebat tanpa bertoleransi dengan diri kita sendiri, dari hati kita sendiri.

Penulis : Firdan Fadlan Sidik 

Comments

Popular posts from this blog

Political Economy of Palestine: Critical, Interdisciplinary, and Decolonial Perspective

Strategi Pemuda dalam Memberantas Hoaks di Era Milenial Inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 9-26

MENANAMKAN PENDIDIKAN PROFETIK PADA MAHASISWA GUNA MEMBENTUK MAHASISWA TELADAN UMMAT (Essay by Fadlan S)