Manusia Ulil Albab

Sejatinya dalam diri manusia terdapat banyak naluri yang mendorong kepada kebaikan. Seluruh umat manusia di muka bumi ini punya dasar-dasar kebaikan yang mereka bawa sejak lahir. Salah satunya naluri selalu merasa ingin berterima kasih atas apa dan siapa yang membuatnya senang. Ketika seseorang diberi sebuah handphone oleh sesorang ataupun rumah misalnya. Secara tidak dipaksa dan dibuat-buat, rasa ingin berterima kasihpun timbul dengan alaminya. Prinsip ketuhananpun selaras dengan demikian. Jiwa ketuhanan dalam benak manusia bukanlah sebuah ilusi semata, melainkan sebuah keniscayaan.

Manusia yang terlahir di muka bumi ini kala pertama kali ia membuka matanya, langsung disuguhi berbagai macam kenikmatan. Dan kenikmatan itu akan terus berjalan hingga dewasa dan semakin dewasa. Naluri yang indah itu tentunya hanya akan hadir bila manusia menyadarinya dan menikmati setiap detik kehidupannya. Manusia akan mengagumi satu per satu ciptaan yang ia lihat, dengar, raba, cium dan rasa.  Mereka yang menyelaraskan hati dan pikirannya akan melontarkan kata “Terima kasih” dalam hatinya. Namun objek yang mereka timpakan rasa kasih itu belum diketahui keberadaannya.

Tidak salah jika manusia pada zaman dahulu menjadikan benda-benda agung di sekitarnya sebagai Tuhan. Benda-benda yang bisa bekerja di luar batas kemampuannya itu dijadikannya sebuah sembahan dan pujaan. Sebut saja pada masa Nabi Ibrahim AS, sebuah kaum hidup dengan mengagung-agungkan benda langit. Nabi Ibrahim pada waktu itu diutus untuk menyiarkan agama hanif kepada kaum yang notabene sudah pintar, hanya saja belum mendapatkan kunci hidayah dari Allah. Kaum itu selalu berkontemplasi dan mentafakuri alam semesta. Suatu siang hari, matahari datang dengan tegasnya dari balik perbukitan. Mereka menganggap matahari sebagai penguasa bumi yang patut mereka sembah. Ia besar, cahayanya terang benderang, bergerak mengitari bumi dan memberinya kehidupan di siang hari. Manusia terkagum-kagum akan benda itu dan melontarkan berbagai pujian dari mulutnya. Siang berganti malam. Bulan datang dengan cahayanya yang sempurna. Matahari yang gagah itu hilang entah ke mana. Kaum itu berhenti memujinya dan berpindah kepada bulan yang sinarnya merajai malam. Cahayanya kalem, putih seperti lampu menyinari kegelapan. Merekapun memujinya. Pada suatu malam yang lain, bulan tak lagi datang bertengger di langit malam. Namun segerombolan benda langit yang berbinar-binar hadir di hadapan mereka mengundang takjub dan melontarkan pujian-pujian. Benda ini lebih indah daripada sebelumnya. Cahayanya lebih terang dan tubuhnya mengedipkan cahaya. Namun, bukanlah seorang nabi pilihan Allah jika Ibrahim dengan secara langsung dan tegas menyalahkan pemahaman dan ilmu mereka yang sangat dangkal. Nabi Ibrahim mendekati kaum itu dengan pendekatan yang lemah lembut, menjajakan ilmu keesaan Allah kepada mereka. Allah-lah yang menciptakan benda-benda hebat tersebut. Allah-lah yang menggerakan benda langit tersebut. Allah-lah yang mengatur siang dan malam dengan tanpa bantuan mahluk lain. Sebagian mereka meyakini keesaan Allah dan tak sedikit dari mereka yang menolaknya keras bahkan mengejeknya. Pada intinya seluruh umat manusia berkesempatan untuk menemukan secercah cahaya tauhid dalam benak hatinya. Hanya saja setiap orang berbeda dalam ‘melihat dunia’. Ada yang melihat dengan kaca mata nafsu, kaca mata telanjang dan kaca mata iman bersimbah kepasrahan. Hanya manusia ulil albab lah yang selektif memandang dunia ini.

Comments

Popular posts from this blog

Political Economy of Palestine: Critical, Interdisciplinary, and Decolonial Perspective

Strategi Pemuda dalam Memberantas Hoaks di Era Milenial Inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 9-26

MENANAMKAN PENDIDIKAN PROFETIK PADA MAHASISWA GUNA MEMBENTUK MAHASISWA TELADAN UMMAT (Essay by Fadlan S)