Gerakan One Month One Book

Literasi berasal dari bahasa Inggris “letter” dan istilah latin “literature” yang bermakna kualitas atau kemampuan melek huruf yang meliputi kemampuan membaca dan menulis. Makna literasi berkembang mencakup melek visual atau kemampuan mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara visual berupa adegan, video dan gambar. Sedangkan dilihat dari perspektif yang lebih kontekstual, National Institute for Literacy mendefinisikan literasi sebagai kemampuan individu untuk membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian yang diperlukan dalam pekerjaan, keluarga dan masyarakat.

Menteri pendidikan dan kebudayaan Queensland Australia, Rod Welford menyebutkan bahwa literasi adalah inti dan jantungnya kemampuan siswa untuk belajar dan sukses ketika terjun ke masyarakat luas. “Meskipun latar belakang siswa berbeda-beda, pemerintah harus mengupayakan agar mereka mendapatkan tingkat literasi yang memadai untuk menghadapi tantangan abad 21,” paparnya. Ia mempublikasikan sebuah buku yang berjudul “Literacy The Key to Learning : Framework for Action” untuk digunakan sebagai acuan pendidikan pada tahun 2006-2008. Ia dan jajarannya sadar bahwa pembelajaran literasi yang bermutu adalah kunci keberhasilan siswa di masa depan. Oleh karena itu semua guru baik matematika, sains, sejarah dan yang lainnya dianggap sebagai guru literasi (Teacher of Literacy).

Lantas bagaimana literasi di Indonesia?

Kurikulum 2013 yang tak lama ini dijadikan model pendidikan di Indonesia ditujukan supaya mutu pendidikan bangsa setara dengan negara maju. Namun realitanya adakah pembelajaran yang menggubris pentingnya literasi? Tidak ada sama sekali. Jangankan masuk materi pelajaran, istilah “literasi” pun masih terdengar asing di telinga para siswa. Pemerintah, khususnya Kemendikbud dinilai belum mengadakan perubahan mendasar pada pembelajaran membaca dan menulis. Hal urgen ini seolah dikesampingkan. Padahal sangat jelas bahwa budaya membaca dan menulis siswa di Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain. Berdasarkan data statistik UNESCO pada tahun 2012, indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya dalam 1.000 orang hanya ada 1 orang yang membaca buku secara tuntas. Sedangkan UNDP merilis angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen, kalah dengan Malaysia yang mencapai 86,4 persen.

Berdanding terbalik dengan peringkat literasi dunia, Indonesia menempati urutan kelima dalam hal kepemilikan smartphone sekaligus negara paling ‘cerewet’ di dunia. Lebih dari 6 juta penduduk Indonesia memiliki gadget dan aktif di sosial media. Berdasarkan survey ‘Top 20 Cities by Number of Posted Tweets’, Kota Jakarta menduduki peringkat pertama kota tercerewet di dunia mengalahkan Kota Tokyo dan London. Susul Kota Bandung di peringkat 6 di atas Kota Paris dan Los Angeles. Survey ini diambil pada tahun 2012 dalam 10,6 juta tweets. Data tersebut baru menyebutkan di twitter saja. Jadi bisa dibayangkan kalau datanya ditambahkan dengan situs sosial media lainnya seperti facebook, instagram dan lainnya, bisa jadi lebih cerewet lagi. Dari data dan fakta tersebut menjadikan penduduk Indonesia sebagai sasaran empuk penyebaran info hoax yang marak pada saat ini. Bagaimana tidak, budaya membaca masih sangat minim sementara penggunaan smartphone mendominasi keseharian penduduk Indonesia.

Masalah yang kronis ini menuntut pemerintah untuk mengadakan terobosan baru dan perubahan besar. Perubahan besar itu bermula dari perubahan-perubahan kecil yang konstan. Menurut Anis Baswedan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, minimnya budaya membaca di Indonesia bukan disebabkan karena minimnya pemerintah memfasilitasi perbukuan dan dunia perpustakaan. Pemerintah telah memberi perhatian penuh dalam hal itu. Terbukti dengan hasil penilaian infrastruktur literasi dunia bahwa Indonesia menduduki peringkat 34 di atas Jerman, Portugal, Selandia Baru dan Korea Selatan.

Jepang, salah satu negara maju menjadikan budaya membaca sebagai salah satu kebutuhan bagi masyarakatnya. Di manapun mereka berada, mulai dari anak-anak, remaja hingga dewasa akan terlihat sedang membaca, baik di stasiun, terminal dan tempat umum lainnya. Jepang terkenal dengan masyarakat kutu buku yang terbukti dengan dicetaknya lebih dari 1 milyar buku per tahun. Jumlah yang mengejutkan ini berawal dari kegiatan belajar mengajar di sekolah. Orang tua juga berperan penting dengan menjadikan buku bacaan atau komik sebagai hadiah dan perpustakaan daerah sebagai tujuan wisata akhir pekan. Di Jepang dikenal dengan budaya “Tachiyomi”, yaitu budaya membaca sambil berdiri di toko buku, kafe hingga mall. Sejumlah tempat umum menyediakan berbagai macam buku dan surat kabar secara cuma-cuma bagi pengunjung yang ingin membaca.

Program “One Month One Book” bisa menjadi alternatif program peningkatan minat baca di Indonesia. Program ini dimonitori oleh perpustakaan sekolah dengan menjadikan peminjaman buku minimal 1 buku dalam sebulan sebagai syarat mengikuti ujian semester. Dengan program ini fungsi perpustakaan akan lebih optimal. Agar program ini tidak terkesan membebani siswa, pihak perpustakaan bisa membuat program ini lebih menyenangkan dengan menyisipkan reward  voucher pembelian buku gratis bagi siswa terajin dan mengadakan lomba menulis resensi bulanan. Para siswa akan terpacu semangatnya untuk mengonsumsi buku. Lama-kelamaan membaca menjadi pilihan pavorit siswa untuk mengisi waktu longgarnya. Dari lingkup sekolah inilah tingkat literasi meningkat dan secara sistematis SDM negara Indonesia menjadi kuat sehingga berdaya saing tinggi.  

Comments

Popular posts from this blog

Political Economy of Palestine: Critical, Interdisciplinary, and Decolonial Perspective

Strategi Pemuda dalam Memberantas Hoaks di Era Milenial Inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 9-26

MENANAMKAN PENDIDIKAN PROFETIK PADA MAHASISWA GUNA MEMBENTUK MAHASISWA TELADAN UMMAT (Essay by Fadlan S)