Pintar itu Luka

Pintar itu Luka
Oleh : Fadlan S


Gelap menyelimuti malam yang pekat di pengujung November kota Salatiga. Seorang pemuda termenung di atas meja memandang pigura foto orang tuanya. Malam itu, asrama masih hening menyisakan geriknya di atas sajadah.
Selepas sholat ia memandang foto itu lekat-lekat. Sepucuk semangat tertiup dari foto itu bagaikan bunga disirami air dan lantas mekar. Seutas senyum terukir di bibirnya membuat air bekas wudhu itu menetes ke dagunya hingga jenggot tipisnya.
“Baik-baik di sana ya Pak, Mah.” Ucap Ayyubi dalam benaknya.
Lantas ia lanjutkan keluh kesahnya kepada Sang Maha Kuasa dalam sujudnya.
“Ya Allah, berikanlah hamba pilihan yang lebih maslahat antara kuliah ke Turki atau terus mengabdi di pondok. Ya Allah, hamba yakin keduanya baik menurut hamba. Namun hamba harus memilih salah satunya. Jika itu baik menurut-Mu, terangkahlah dan mudahkanlah segara urusannya. Aamiin ya rabbal ‘alamiin...”
Dialah Ayyubi, seorang santri takhosus di pesantren Al-Jami’ah. Kelulusannya dalam seleksi beasiswa kuliah S2 di Turki membuatnya semakin gundah dalam menentukan langkah. Ia harus mempertimbangkan hal lain, yaitu kepercayaan kyai kepadanya untuk menjadi musyrif[1]asrama. Kebahasaannya yang tidak diragukan, kefasihan Al-Qur’annya yang bersertifikasi dari ustadz, serta keindahan pita suaranya dalam mengaji dan saat menjadi imam membuat kyai lantas memercayakan pondok kepadanya. Kini ia berada di puncak dilema, antara takdzim dan cita-cita yang harus dipilih salah satu.
Mentari semakin berseri. Cahayanya tampak di balik kubah masjid Ath-Thayyar. Para santri berbondong-bondong menuju masjid untuk menegakkan takbir duha. Ayyubi sudah mulai dalam kesibukannya di kantor pesantren, tidak jauh dari masjid. Sebuah pesan masuk ke ponselnya lantas ia buka.
Assalamu’alaikum warahmatullah.. Afwan mas Ayyubi. Kami dari panitia seminar akan menjemput mas ke Pondok Al-Jami’ah. Sarapan pagi dan kamar penginapan sudah kami siapkan. Nanti kami akan menuju kantor mas Ayyubi. Terima kasih mas, afwan mengganggu.
Astagfirullah, aku lupa kalau harus mengisi seminar.” Pesan itu seolah menjadi alarm bagi kekhilafan dirinya.
Ayyubi diundang oleh Kemenag untuk mengisi seminar dan diskudi keagamaan di salah satu perguruan tinggi. Beruntunglah panitia memberi aba-aba lewat SMS. Lantas ia mempersiapkan materi power point berkenaan dengan tema seminar. Tampaknya ia tak butuh waktu lama dalam membuat slide power point karena sudah berkali-kali ia diundang untuk mengisi seminar. Setelah meraih prestasi sebagai mahasisiwa berprestasi Nasional, ia sering disoroti banyak pihak. Berbagai seminar, diskusi dan konferensi seringkali ia diundang menjadi pemateri. Dalam menyiapkan materi seminar kali ini, ia cukup mengutip dari mozaik-mozaik presentasinya yang lalu.
Sebuah mobil innova putih terparkir di halaman pesantren dan seorang pria berjas rapi menjemput Ayyubi di kantor. Ia mengajak Badrun, salah satu santrinya untuk menemaninya sekaligus delegasi pesantren dalam seminar. Selama perjalanan, ia disambut dengan perbincangan ramah  dari panitia. Mobil itu melaju menuju sebuah hotel berbintang.
“Mas, saya tinggal dulu ya. Selamat beristirahat. Seminarnya berlokasi di convention center hotel ini. Jika acaranya hendak dimulai, akan saya kabari lagi. Permisi mas.”
Alih-alih merebahkan badan, ia mengambil air wudhu untuk menegakkan takbir duha. Tampak lama sekali ia bersujud, begitupun berdo’a.
Selepas sholat, ia dan Badrun bergegas untuk sarapan di restoran hotel yang begitu indah bersandingan dengan kolam renang dan taman. Mereka duduk di sebuah meja menghadap taman.
“Mas, enak ya kalau jadi ‘orang’. Hidupnya enak, terjamin, disegani orang banyak,,,,”
Ayyubi hanya tersenyum.
“Tidak juga Badrun. Pintar itu sebuah luka.”
“Luka? Mas Ayyubi sastrawi banget kata-katanya. Jabarkan dong mas.” Pinta Badrun.
“Habiskan makannya dulu. Nanti lanjut ngobrol..”
Setelah santap sarapan habis tak tersisa, Ayyubi menjawab request dari Badrun.
“Kamu lihat pohon tinggi nan rindang itu di bawah! Angin kota menampar daun-daunnya. Adakalanya harus terjatuh ke bawah karena terseleksi alam. Adakalanya ditebang secara paksa karena sudah gondrong dan menghalangi jalanan kota. Di balik keindahan pohon yang berbuah, terdapat banyak sekali tantangan yang menghalanginya.”
Ayyubi menyela perbincangan dengan seteguk cokelat hangat.
“Beda halnya dengan bagian akar pohon itu. Dia letaknya di bawah, tidak terlihat, tidak ada hambatan. Tapi tidak juga banyak dicari-cari orang karena akarnya. Alam yang Allah ciptakan adalah sarana untuk mengambil pelajaran dan ‘ibrah. Kita ibaratkan karier kehidupan juga dengan sebuah pohon yang semakin tinggi pohon itu, semakin banyak rintangan yang dihadapinya. Dan sebaliknya, jika kita hanya mencukupkan diri untuk menjadi akar, tidak ada rintangan di depan kita. Tapi tidak ada juga manfaat yang kita tebar kepada orang lain. Bahkan kita malah sering diinjak orang.”
Badrun menyimaknya dengan baik.
“Ustadz yang lain juga pernah meyampaikan di kelas, bukan ?”
“Iya mas, pernah.”
“Seorang akademisi yang pintar, dalam realitanya ia memikul sebuah luka yang teramat besar. Luka itu ada di dalam ini Bad.”
Ayyubi memegang dadanya.
“Jika apa yang ada di dalam dada ini merasa ‘ujub, takabbur, hingga lupa akan siapa yang telah membuatnya sukses, maka ia akan lebih jelek kedudukannya daripada orang yang bodoh yang tahu diri.”
Ayyubi terdiam, memberikan kesempatan Badrun untuk merespon.
“Betul juga ya mas. Kebanyakan orang yang sudah menjadi ‘orang’ itu malah lupa diri mas. Beda dari sebelumnya. Dari cara jalannya, ngomongnya, tingkah lakunya, semuanya berubah. Saya juga heran.”
“Iya, betul Bad. Kamu juga sudah bisa mengamati. Di luar sana banyak. Itu merupakan bagian dari lukanya seseorang yang pintar, yaitu tantangan hati. Disanjung-sanjung, dipuji, dimuliakan banyak orang, disegani masyarakat, diberikan posisi yang mulia, dan masih banyak bentuk penghormatan yang sebenarnya ini adalah luka bagi pemiliknya. Ia sangat berat memikul beban pujian yang rentan menggores hati untuk menjadi sombong.”
“Tapi mas, bukannya kemuliaan dan penghargaan derajat bagi orang pintar itu memang keniscaayan sebagaimana yang difirmankan Allah dalam surat Al-mujadilah ayat 11 ?” Tanya Badrun.
“Betul sekali Bad. Keistimewaan derajat bagi orang yang berilmu itu tidak hanya di akhirat melainkan juga di dunia. Namun, jika kita gagal dalam mengemban kemuliaan derajat di dunia, mungkin akan gagal mendapatkan kemuliaan di akhirat.”
“Maksudnya mas ?”
Ayyubi menyeruput kembali cokelat hangatnya yang sudah dingin lalu kembali berbicara. Susul Badrun melakukan hal serupa.
“Jika seseorang yang berilmu itu lantas sombong dan lupa diri kepada Dzat yang telah membuatnya pintar dan menitipkan secuil ilmu dari pemiliknya, maka hanguslah sudah kemuliaan di akhirat karena surga tidak menerima orang yang memiliki rasa sombong walaupun sebiji dzarrah[2].”
Badrun menganggguk paham. Ayyubi melihat jam tangannya.
“Sudah kenyang?” Ia menebarkan pandangan ke piring-piring dan gelas-gelas yang nampak sudah kosong bersih.
“Sudah mas, alhamdulillah.”
“Lanjut nanti ya bincang-bincangnya. Ayo kita bergegas pulang. Sebentar lagi seminarnya akan segera dimulai.”
Cahaya mentari tampak semakin meninggi. Tepat pukul 9 nanti, Ayyubi harus sudah stand by di convention center hotel. Badrun selalu sigap menemani gurunya itu ke manapun pergi. Seperti biasa, dia selalu siap dengan buku kecil, pulpen, dan kartu pers yang dipasang di saku kemejanya.
“Saudara-saudara, mengapa kitab karangan para ulama salaf sampai saat ini masih eksis dibaca masyarakat dan tidak hilang ditelan zaman? Karena manuskrip sejarah Islam karangan para ulama dalam pembuatannya melalui proses yang tidak sederhana. Para ulama tidak sembarangan dalam menulis. Beliau melalukan shalat terlebih dahulu sebelum menulis. Dan untuk menyelesaikan sebuah karyaa, beliau berpuasa selama 1 tahun. Dan dalam setiap menulis, beliau berwudhu serta sholat terlebih dahulu.“
Ayyubi memaparkan pengalaman-pengalamannya dalam dunia kepenulisan dan penelitian sejarah. Ia terbarkan kepingan demi kepingan perjuangannya dalam menggeluti kariernya. Badrun dan peserta seminar lainnya terkagum-kagum melihat orasinya yang santai dan komunikatif.
Seusai seminar, mereka kembali berbincang-bincang. Dalam eloknya senja di tepi kota, ia menuju restoran hotel yang berada di lantai tujuh dengan pemandangan semi terbuka berdinding kaca.
“Mas, lanjut obrolan kemarin dong.”
Di depan hidangan makan malam, mereka kembali berbincang.
“Berkumpul dengan keluarga itu adalah hal yang didambakan setiap orang. Nah, si lumbung ilmu itu punya luka yang berat. Waktu yang dimilikinya terkena serangan anemia-time atau kekurangan waktu. “
Anemia-time ?”
Badrun seketika tertawa mendengarnya. Mereka tertawa.
“Iya, bahasanya gitu lah menurutku. Si lumbung ilmu harus rela mengorbankan banyak waktunya demi umat yang setiap minggu pasti full dengan undangan. Tidak mungkin ia menolak, sementara ilmu yang didapat itu mempunyai amanah tersendiri untuk disampaikan kepada orang lain.”
“Belum lagi ketika diundang, pasti banyak tamu yang menyanjunginya. Diberi tempat first priority, jamuan mewah, dan penghormatan lainnya. Apakah itu tidak cukup membuatmu merasa senang ? Tentu, lebih dari sekedar senang. Dan inilah yang dimaksud dengan luka hyper-happy.”
Hyper-happy ?”         
Badrun kembali tertawa. Istilah-istilah bikinan gurunya itu cukup kreatif dan menggelitik orang yang baru dengar.
“Wah, cukup berat juga ya menanggung luka si Pintar. Ada lagi mas luka yang ditanggung ? Jangan-jangan ada kanker juga. Hahaha....”
Eits, jangan salah. Ada kanker juga loh. Namanya itu kanker kalbu.”
“Ada-ada aja mas. Saya sampai kebingungan mau nyocokin apa dengan kata kanker.”
“Si Pintar itu menanggung luka kanker kalbu. Kalbu atau hatinya digerogoti sama daging yang menggumpal bernama takabbur. Daging ini sebenarnya tidak berbahaya jika kita mampu mengendalikannya. Namun jika kita kewalahan dan terbuai dengan berbagai pujian, maka daging ini akan meningkat stadiumnya jadi KRITIS, bahkan KOMA.”
“Sejak kapan sih mas pindah jurusan jadi kedokteran? Hahaha...”
Badrun meluapkan tawa.
“Bebas beristilah dong. Mulut, mulut siapa ? Hahaha.... pinjam kata-katanya Andre pas melawak.”
“Puji itu milik siapa sih, Allah kan ? Nah, jika si Pintar ini melahap pujian orang lain untuk dirinya sendiri, sungguh hinalah dia karena telah memakan bukan hak seorang hamba. Jika pujian sudah ia lahap, ia akan lupa diri, lupa akan siapa yang telah menitipkan ilmu kepada dirinya. Selama ia lupa, selama itulah kankernya semakin ganas.”
Hotel mewah itu menjadi menjadi terlihat indah untuk kerenyahan perbincangan mereka. Cahaya senja mebuat tubuhnya indah jika dibuatkan foto siluet.
---0---




[1] Pembina
[2] Dzarrah adalah Titik debu yang nampak di udara ketika ada celah dinding terkena sinar matahari. (menurut Ibnu Jauzi dan Tsa’labi)

Comments

Popular posts from this blog

Political Economy of Palestine: Critical, Interdisciplinary, and Decolonial Perspective

Strategi Pemuda dalam Memberantas Hoaks di Era Milenial Inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 9-26

MENANAMKAN PENDIDIKAN PROFETIK PADA MAHASISWA GUNA MEMBENTUK MAHASISWA TELADAN UMMAT (Essay by Fadlan S)