Semanis Gethuk

“Semanis Getuk – Firdan Fadlan Sidik”
Kejadian itu masih menyimpan jejak luka yang membayangi setiap langkahku. Sudah sekian purnama pengembaraanku, masih meninggalkan kepedihan yang dalam. Aku masih ingat. Waktu itu aku menangkap guratan kesedihan di wajah ayah saat melepas kepergianku mencari segembleng ilmu ke kota budaya, Solo. Anehnya, ia masih sempat melukiskan senyum di bibirnya. Ayah kira aku tak tahu masalah yang menimpa saat itu. Masalah yang membuat kecengenganku memuncak.
Aku masih ingat. Bunyi handphone itu membangunkan tidur nyenyak ayah. Rupanya Wa Dadang menelpon ayah dan berbincang basa-basi. Ia sempat meminta maaf mengganggu tidur ayah. Aku semakin heran. Suara ayah di kamar sedikit mengganggu konsentrasi belajarku di ruang tengah dan menyita perhatianku untuk mendengarnya.
“Jadi mobil itu mau kamu jual hanya untuk biaya sekolah anakmu?” Bentak pemuda kaya raya itu dalam handphone yang ayah keraskaan suaranya.
“Jangan habis-habisan nyekolahin anak. Sudah tahu mobil itu harta paling berharga. Apakah tak bisa cari sekolah lain yang lebih murah, bahkan gratis ?” Tambahnya.
“Ya, mobil carry tahun 1980-an itu mau saya jual dan sudah ada pembelinya. Cash. Siap dua belas juta. Tujuh juta untuk biaya sekolah. Tiga juta bayar perbaikan mobil. Sisanya bayar hutang.”
Suara ayah terkujur lemah kepada kakaknya itu. Ia masih menyimpan takdzim kepadanya. Apa boleh buat. Selama ini uwalah yang banyak membantu. Gubuk kecil tempat berteduh ini pun atas belas kasih uwa. Tak jarang ia memberi makanan dan mainan untuk adikku. Lembaran rupiahpun sering ia bekalkan untuk sekolahku. Terlalu banyak hutang budi jika ayah kembali membentaknya.
“Yang penting anaknya rajin, pasti bisa sekolah dimanapun. “
Kata-katanya menampar semangat ayah untuk menyekolahkanku. Namun semangat ayah bagai karang yang tegak berdiri dalam terjangan ombak, terpaan badai dan sengatan matahari yang tak kenal kesah, tetap berdiri dalam pijakan sendiri. Jika langkah ayah sudah benar dan tidak memadaratkan orang lain, kenapa tidak ? Menjadi tuli memang perlu dalam hal ini.
“Iya, memang betul apa yang uwa bicarakan. Sangat betul. Namun apakah ada sekolah taraf kantong saya yang bisa mendapatkan fasilitas yang mumpuni? Apalagi anak saya ingin sekali tinggal di pondok pesantren. Biaya makan dan pendidikan tiap bulannya menjadi beban saya sebagai ayah untuk memperjuangkannya. Tak ada beban untuk uwa. “ Jawab ayah, tegar.
“Sudahlah, janganlah melihat taraf itu. Biar orang berkantong besar yang layak masuk pondok. Bukankah masih ada MTs di desa dekat rumah? Murah dan dekat. Setaraf kamu, terlalu kejauhan memikirkan pondok pesantren berbasis billingual itu.” Sahut uwa mengerucutkan masalah.
“Belum lagi biaya transportasinya, buku-buku, kitab kuning dan lain-lain. Gila kamu. Biaya masuk tujuh juta. Transportasi pulang pergi Tasik-Solo tiga ratus ribu. Pikirmu terlalu jauh. Ya sudah. Saya minta uang kembali mobil yang akan kamu jual.” Pintanya, ganas.
Semakin menegangkan. Mobil rusak uwa yang dulu ia titipkan kepada ayah, ia minta hasil. Padahal dalam proses perbaikan, ayah perlu banyak pengeluaran. Jika tidak mobil itu hanya laku dijual ke tukang barang bekas. Mungkin ini pelampiasan ketidakterimaannya menyekolahkanku.
Memang suatu kejanggalan jika aku tercatat sebagai siswa baru sekolah bermutu. Keringat seorang tukang tambal ban dan tukang gorengan terlalu jauh melampaui batas diri sendiri. Hanya melampaui batas anggapan orang lain.
Ayah tak bisa diam membisu. Mobil sudah ayah jual dan ia kembali berhutang dengan apa yang uwa pinta. Otomatis, rumah yang ia singgahipun harus ayah tinggalkan.
Rintik tangis memuncak setelah akhirnya ayah harus cabut malam itu juga. Detik itu juga. Ia pindah ke rumah nenek dengan status menumpang dan merawat nenek. sungguh perjuangan yang menyayat batin. Belum lagi terpaan badai jika aku sudah sekolah nanti. Jujur aku tak terima ayah dibentak-bentak.
--- 0 ---
“Woy !” Bentak Andrian menggoyangkan lenganku yang memegang pena di atas buku.
“Jangan melamun Bro!” Tambahnya.
Kukedipkan kata sekedar me-refresh lamunanku.
“Nggak papa. Bagi seorang penulis lamunan bisa jadi rupiah. “ Bantahku tersipu malu.
Andrian ikut duduk di lantai dua asrama ini dengan bentangan pekuburan yang menghampar luas sejauh mata memandang. Ia menyambung pembicaraan.
“Ke-li-ru-O-leh-Mu-tsa-qof” Sambil telunjuknya menunjuk cerpen di majalah bulanan ke arahku, mengeja judul dan pengarangnya.
“Hebat! tulisanmu dimuat di majalah el-qudsy. Majalah terpopuler se-Solo Raya.“ Tangannya menepuk pundakku wujud bangga kepada sobat karibnya.
“Proyek apa lagi nih yang kamu garap ?”tanyanya.
Kini lamunanku kabur dan menjelma senyuman. Sobatku memang obat mujarab kepiluan.
“Syukurlah, nama penaku sedikit menumpang di majalah. Ini yang pertama kalinya tulisanku dimuat. Cukup meniupkan hawa semangat. Ini garapan novelku.” Jelasku.
“Ngomong-ngomong, kenapa kamu suka menulis? Sebentar-sebentar, nulis. Di mana-mana, nulis. Kapan-kapan, nulis. Kalau gak nulis, baca novel.” Tanyaku penasaran.
Aku memandang bentangan pepohonan di samping asrama.
“Aku rasa ini sudah jadi passionku. Dengan menulis, aku bisa menampung realitas dan imajinasi dalam bentuk karya nyata dan bisa dinikmati. Syukur kalau bermanfaat bagi orang lain. Kalau sudah enjoy, jadilah hobby.” Jawabku.
“Lebih jelasnya, seperti kamu yang suka main musik.” Tambahku.Andrian mengangguk faham.
“Tapi, apa kamu bisa bagi waktu dengan tugasmu sebagai sekretaris OSIS? Tugas proposal ?”
Aku diam tertegun. Kucoba menjawabnya.
“Sebenarnya aku kurang bisa. Tapi akan aku usahkan.”
Aku terdiam sejenak.
“Oh, iya. Aku baru ingat. Proposalnya belum aku sentuh sama sekali.”
Andrian mengingatkanku akan tugas proposal dari ketua OSIS. Sudah dua hari ia menugaskanku. Aku cemas. Takutnya ia menagih proposalnya.
“Pamit, ya. Aku ke kamar dulu.” Aku meninggalkan jemuran dan menuju ke kamar dua, kamar seketaris. Dengan berselimut kecemasan, aku meraih proposal dan menyalakan komputer OSIS.
“Assalamu’alaikum.” Seseorang mengetuk pintu kamar.
“Wa’alaikum salam.” Jawabku.
Ternyata temanku, Maula, ketua OSIS. Tangan kokohnya menyambut jemariku untuk bersalaman. Tampak wibawa seorang ketua. Keringat dinginku meleleh.
“Gimana proposalnya, sudah sampai mana?” Ia mengecek garapan proposalku di komputer.
“Belum kamu kerjain toh? “ Ia heran ketika melihat halaman microsoft word yang masih polos.
“Baru saja mau dikerjakan.” Jawabku pelan merasa bersalah.
“Jelas. Dari tadi kamu garap novel terus. Kapan kerjanya?” Ia kesal dan menunjukan buku novel garapanku di samping komputer.
“Maaf, saya lupa. Tapi saya siap mengerjakannya.” Mukaku memerah.
“Masalahnya bukan kecil. Kalau proposal belum jadi, acaranya akan molor terus. Belum lagi minta tanda tangan kepala sekolah. Sampai kapan kamu lalai?” Sosok tegasnya muncul.
“Kasih saya kesempatan. Mulai saat ini saya akan membagi waktu dengan baik. Saya bisa.” Ucapku meyakinkan.
“Ya sudah. Karena ini baru tugas pertama , saya maafkan. Mungkin kamu belum terbiasa dengan tugas yang butuh ketelitian dan waktu.” Ia masih menyimpan toleransi kepadaku walaupun guratan kekesalan belum sirna di wajahnya. 
“Kerjakan, ya !” Ia meninggalkan kamar. Aku kembali dengan komputer.
“Santai Bro ! “ Sahut Andrian di belakang punggungku. Rupanya bentakan keras Maula menyita perhatian dan tak sengaja ia mendengarnya. Ia menyodorkan sesuatu dan menawarkannya.
“Makan getuk dulu aja !”
Keringat dinginku mengering. Sekedar menenangkan ketegangan, aku makan kue tradisional Jawa itu. Rasanya yang manis, mampu menggoyangkan lidah dan memberi ruang untuk sejenak berintrospeksi.
“Menjadi penulis memang butuh manajemen waktu yang baik. Jangan sampai mengorbankan tugas.” Lirih Andrian.
“Ya, hobby itu hanya untuk waktu luang. Setelah tugas tepatnya.” Jelasku, mengiyakan.
“Kok masih tegang, ada apa ? Melamun lagi ya ?” Tanya Andrian keheranan mendapati guratan kesedihan di wajahku.
Aku merenung sejenak.
“Jejak luka memang terus membayangiku. Cukup ayahku yang diinjak-injak. Biar nanti aku angkat derajat dia di mata uwa.” Curhatku.
“Maksudnya? Cerita yang sebelum kamu masuk asrama itu?” Tanya Andrian.
Aku mengangguk. Rupanya ia masih ingat cerita yang pernah aku sampaikan.
“Memang itu sakit. Tapi gak boleh menjadikan kamu nge-drop. Apalagi sampai lupa tugas. Cukup jadikan dorongan bagi kamu untuk bisa memberi yang terbaik untuk ayahmu.”
“Terima kasih, Sobat. Semoga masa depanku bisa memutar nasib ayahku.”
“Ya. Semoga masa depan kita semanis getuk yang penuh warna dengan taburan kelapa parut putih yang gurih yang menggiurkan lidah.” Ucap Andrian sambil memegang getuk dan menaburinya parutan kepala. Kamipun kembali menikmatinya.
---



Comments

  1. Penggambaran karakter anak nya menarik, alur cerita juga runtut. Tapi penjelasan tokoh ayah kurang detail, jadi emosi nya kurang dapet

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Alurnya nggak njrimet, tertata rapi. Lanjutkan Dan 👍👍👍

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Political Economy of Palestine: Critical, Interdisciplinary, and Decolonial Perspective

Strategi Pemuda dalam Memberantas Hoaks di Era Milenial Inspirasi Al-Qur’an Surat Al-Kahfi Ayat 9-26

MENANAMKAN PENDIDIKAN PROFETIK PADA MAHASISWA GUNA MEMBENTUK MAHASISWA TELADAN UMMAT (Essay by Fadlan S)